Senin, 02 Juli 2007

Nasib Baksa


Nasib Baksa di Zaman Modern

TARI Baksa Kembang beberapa waktu lalu sempat membuat kagum sejumlah peserta Konferensi Internasional dan Pameran Batu Permata dan Pariwisata di Banjarmasin. Kelembutan gerak maupun keindahan busana penarinya [Gajang Gamuling] menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta konferensi dari berbagai negara tersebut.

Mungkin merasa unik, Dr Hiro Kurashina, anggota delegasi dari Guam yang berkebangsaan Jepang terlihat begitu asyik memotret para penari. Ketika seorang penari mendekatinya untuk mengalungkan bogam [rangkaian bunga melati], Hiro pun mengucapkan terima kasih sambil memberikan ciuman kepada si penari. Kemudian dia mengambil satu bogam lagi, dan mengalungkannya ke leher istrinya, Prof Rebecca Stephens.

Tarian klasik Banjar tersebut memang dipersembahkan untuk menyambut tamu agung atau orang-orang yang dihormati. Baksa Kembang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Kerajaan Banjar sendiri berdiri pada abad ke-15.

Menurut Yurliani Johansyah, pakar tari klasik Banjar, tari Baksa Kembang sudah ada sebelum pemerintahan Sultan Suriansyah [raja pertama Kerajaan Banjar, Red]. Tarian ini diciptakan satu masa dengan tari Baksa lainnya, Baksa Dadap, Baksa Lilin, Baksa Panah dan Baksa Tameng --pada zaman Hindu, pra masuknya Islam.

Dan, karena pengaruh Hindu tersebut, ada gerakan tertentu dari tari ini yang sempat menjadi perdebatan. Bahkan oleh mereka yang tidak menerima dengan paham itu, gerakan yang menjadi persoalan itu sengaja ditiadakan.

"Ada gerakan tarinya yang menyembah, dan ini dianggap kurang pas dengan Islam, sehingga ditinggalkan," ujar Yurliani. Tapi sekarang gerakan itu `hadir’ lagi dengan sejumlah perubahan karena maknanya dapat diterima.

Hal serupa, kata Yurliani, timbul ketika pakaian Bagajah Gamuling yang dinilai ‘kada babaju’ --busana dengan bagian atas dada agak terbuka karena hanya memakai udat.

***

BAKSA merupakan tarian yang lahir dari lingkaran keraton. Karena itu ciri utama gerakan tari ini adalah kehalusan dan menunjukkan kesantunan budi pekerti. Menurut R Suria Fadliansyah, salah satu koreografer tari di Kalsel, baksa berasal dari kata beksan yang memiliki arti halusan.

"Kehalusan tari baksa ini bisa kita lihat perbedaannya jika dibandingkan dengan tari rakyat seperti kuda gepang, jepen, tirik atau gandut," ungkap Suria.

Bagaimana perkembangan tarian ini? Baksa Kembang pada tahun 40-an masih belum tampil di panggung. Penarinya menari ke segala arah. Dari sejarahnya, papar Yurliani, sang penari tidak hanya ‘menghormat’ kepada raja tetapi kepada semua.

Sekarang, ketika arena tari pindah ke atas panggung, tujuan penghormatan satu arah, kepada orang di depan penari. Berubahnya perumahan [pola lantai] dan modifikasi gerakan terjadi dipengaruhi oleh perkembangan zaman maupun adat istiadat.

Bagaimana nasib tari baksa pada masa-masa yang akan datang?

Kelangsungan tarian klasik Banjar tersebut tergantung kita. Instansi pembina seperti DKD, Taman Budaya dan Lembaga Budaya Banjar dan kita semua punya tanggung jawab moral menjaga dan memeliharanya. Agar generasi yang akan datang tak hanya pernah mendengar ceritanya. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Ulun supan banar nah, seumuran belum pernah lagi menonton tari-tarian banua

algembira mengatakan...

Jiwa Matahari ada di mana sekarang? Dulu di mana? Pentas tari Banjar memang agak jarang ditampilkan secara rutin. Kecuali ada acara khsusus pemerintah. Yang tahunan jika berlangsung Festival Tari Tingkat Provinsi Kalsel. Sesekali Taman Budaya Kalsel di Jalan Brigjend H Hassan Basry menggelar pentas tari daerah. Belum ada pentas khusus kesenian banua sih, yang rutin menggelar seni budaya daerah.