Senin, 02 Juli 2007

Semarak Budaya

Semarak Budaya Nusantara Meriahkan Pisah Sambut Kakanwil Deppen Kalsel

PERGELARAN budaya nusantara yang diwakili dua propinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, Sabtu malam [28 Mar] lalu menyemarakkan acara Pisah Sambut Kakanwil Departemen Penerangan Kalsel di Gedung Wanita Jalan Brigjen H Hassan Basry Banjarmasin.

Pejabat baru Kakanwil Deppen Kalsel Drs H Turmuzi Harun yang Banjar asli dan kelahiran Martapura, pada malam itu bahkan tampil solo membawakan lagu Paris Barantai. Sementara pejabat lama, H Andi Nyongki, BA yang berasal dari Ujungpandang dengan didukung sejumlah staf Kanwil Deppen Kalsel membawakan lagu daerah Anak Kukang.
“Saya biasa nyanyi di diskotik. Jadi tidak bisa kalau nyanyi di tempat ini. Saya biasa nyanyi karaoke,” gurau Andi Nyongki yang malam itu lantas memanggil satu-persatu anak buahnya untuk menemani dia membawakan lagu daerah Sulsel itu. Andi pun akhirnya selamat dari kewajiban menyanyi sendirian di atas panggung.

Hadir dalam acara itu antara lain Karo Humas Kalsel Drs Amanul Yakin, Ketua PWI Kalsel H Gusti Rusdi Effendi AR, Kepala Stasiun Produksi TVRI Banjarmasin R Djoko Gitoyo, Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin Sazli Rais, Kakandeppen se-Kalsel, dan jajaran keluarga besar Deppen Kalsel.

Selain lagu-lagu daerah, acara Pisah Sambut juga menampilkan tari tradisional Kalsel Baksa Kembang yang dibawakan oleh Ikatan Anak-anak Penerangan [Ikapen] Kalsel. Seusai membawakan tari klasik Banjar yang biasanya dipergunakan dalam upacara penyambutan tamu itu, Widya dan Fifi, kedua penarinya kemudian mempersembahkan bogam [rangkaian bunga melati] kepada Drs H Turmuzi Harun dan istri. Berikutnya, muncul Tari Kipas dari Sulsel yang dipersembahkan keluarga besar RRI Nusantara III Banjarmasin. Ketiga penari wanita yang mengenakan baju Bodo [pakaian khas wanita Sulsel] dengan kipas ditangan tampil gemulai.

Tempo seakan berubah menjadi lebih cepat ketika para pelajar SMUN 1 Kandangan yang mewakili Deppen Kabupaten Hulu Sungai Selatan menampilkan tari Jepen Tujuh Galuh Kandangan. Gerakan tari dari tujuh gadis berkerudung kuning yang lebih dinamik dibanding dua tarian sebelumnya ini mampu menghangatkan suasana malam Pisah Sambut. Apalagi para penabuh dari Grup Ading Bastari Barikin yang mengiringi tampil tak kalah bersemangat.

Warna budaya nusantara yang ditampilkan jajaran keluarga besar Deppen Kalsel pada acara Pisah Sambut tersebut memang begitu terasa. Selain lagu Banjar berjudul Uma Abah yang dibawakan pembawa acara, pembacaan puisi “tanpa judul” oleh seniman senior Hamami Adaby yang Kakandeppen Kabupaten Barito Kuala, penampilan grup paduan suara karyawan-karyawati Deppen Kotabaru juga tak ketinggalan menghibur dengan lagu daerah Paris Barantai: Kotabaru gunungnya bamega. Bamega ombak manampur di sala karang, ombak manampur di sala karang. Batamu lawanlah adinda. Adinda iman di dada rasa malayang, iman di dada rasa malayang.

Puncaknya, Kakanwil Deppen Kalsel Drs H Turmuzi Harun yang diam-diam memiliki suara yang tak kalah merdu dari penyanyi dangdut yang gubernur Jawa Timur Basofi, mengajak Kakandeppen se-Kalsel serta Kepala Stasiun Produksi TVRI Banjarmasin R Djoko Gitoyo dan Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin Sazli Rais untuk bernyanyi bersama. Turmuzi Harun bahkan sempat berduet dengan Djoko Gitoyo membawakan lagu gembira Kalsel yang sudah tidak asing lagi Sapu Tangan Babuncu Ampat. Sementara itu, dengan gaya yang kocak Hamami Adaby meningkahi sambil berjoget di atas panggung.

Andi Nyongki sendiri yang pada malam itu mengakhiri tugasnya sebagai Kakanwil Deppen Kalsel setelah menjabat selama 8 tahun 9 bulan 11 hari tampak sangat terharu. “Tempat ini sangat bersejarah bagi saya. Di Gedung Wanita inilah saya dilantik pada tanggal 15 Juni 1989,” kata Andi yang sebelum itu juga pernah menjabat sebagai Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin dan RRI Nusantara IV Ujungpandang.

Ikatan batin khusus yang telah terjalin begitu erat dengan masyarakat Kalsel terutama jajaran penerangan dan pers daerah ini membuat Andi malam itu tak kuasa menahan rasa haru. Dia memeluk hangat para undangan yang menyalaminya, sambil sesekali menyeka air matanya. Andi yang pensiun sejak 1 Januari 1998 lalu selanjutnya akan kembali ke kampung halamannya, Ujungpandang. yy (Banjarmasin Post, 30 Maret 1998).

Nasib Baksa


Nasib Baksa di Zaman Modern

TARI Baksa Kembang beberapa waktu lalu sempat membuat kagum sejumlah peserta Konferensi Internasional dan Pameran Batu Permata dan Pariwisata di Banjarmasin. Kelembutan gerak maupun keindahan busana penarinya [Gajang Gamuling] menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta konferensi dari berbagai negara tersebut.

Mungkin merasa unik, Dr Hiro Kurashina, anggota delegasi dari Guam yang berkebangsaan Jepang terlihat begitu asyik memotret para penari. Ketika seorang penari mendekatinya untuk mengalungkan bogam [rangkaian bunga melati], Hiro pun mengucapkan terima kasih sambil memberikan ciuman kepada si penari. Kemudian dia mengambil satu bogam lagi, dan mengalungkannya ke leher istrinya, Prof Rebecca Stephens.

Tarian klasik Banjar tersebut memang dipersembahkan untuk menyambut tamu agung atau orang-orang yang dihormati. Baksa Kembang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Kerajaan Banjar sendiri berdiri pada abad ke-15.

Menurut Yurliani Johansyah, pakar tari klasik Banjar, tari Baksa Kembang sudah ada sebelum pemerintahan Sultan Suriansyah [raja pertama Kerajaan Banjar, Red]. Tarian ini diciptakan satu masa dengan tari Baksa lainnya, Baksa Dadap, Baksa Lilin, Baksa Panah dan Baksa Tameng --pada zaman Hindu, pra masuknya Islam.

Dan, karena pengaruh Hindu tersebut, ada gerakan tertentu dari tari ini yang sempat menjadi perdebatan. Bahkan oleh mereka yang tidak menerima dengan paham itu, gerakan yang menjadi persoalan itu sengaja ditiadakan.

"Ada gerakan tarinya yang menyembah, dan ini dianggap kurang pas dengan Islam, sehingga ditinggalkan," ujar Yurliani. Tapi sekarang gerakan itu `hadir’ lagi dengan sejumlah perubahan karena maknanya dapat diterima.

Hal serupa, kata Yurliani, timbul ketika pakaian Bagajah Gamuling yang dinilai ‘kada babaju’ --busana dengan bagian atas dada agak terbuka karena hanya memakai udat.

***

BAKSA merupakan tarian yang lahir dari lingkaran keraton. Karena itu ciri utama gerakan tari ini adalah kehalusan dan menunjukkan kesantunan budi pekerti. Menurut R Suria Fadliansyah, salah satu koreografer tari di Kalsel, baksa berasal dari kata beksan yang memiliki arti halusan.

"Kehalusan tari baksa ini bisa kita lihat perbedaannya jika dibandingkan dengan tari rakyat seperti kuda gepang, jepen, tirik atau gandut," ungkap Suria.

Bagaimana perkembangan tarian ini? Baksa Kembang pada tahun 40-an masih belum tampil di panggung. Penarinya menari ke segala arah. Dari sejarahnya, papar Yurliani, sang penari tidak hanya ‘menghormat’ kepada raja tetapi kepada semua.

Sekarang, ketika arena tari pindah ke atas panggung, tujuan penghormatan satu arah, kepada orang di depan penari. Berubahnya perumahan [pola lantai] dan modifikasi gerakan terjadi dipengaruhi oleh perkembangan zaman maupun adat istiadat.

Bagaimana nasib tari baksa pada masa-masa yang akan datang?

Kelangsungan tarian klasik Banjar tersebut tergantung kita. Instansi pembina seperti DKD, Taman Budaya dan Lembaga Budaya Banjar dan kita semua punya tanggung jawab moral menjaga dan memeliharanya. Agar generasi yang akan datang tak hanya pernah mendengar ceritanya. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)