Selasa, 13 November 2007

Maestro Lamut















Foto-foto: yusmili

Raden Jamhar Akbar

Bismillahi rahmanir rahiim
Sangaja aku mambakar dupa putih
kukus manyan astagina
yang harum samarbak tujuh lapis langit
dan bumi bahkan samasta sakalian alam

Assalamu alaikum ya Jibril
Assalamu alaikum ya Mikail
Assalamu alaikum ya Israfil
Assalamu alaikum ya Izrail

Assalamualikum ya arhal mukadisiyyah
agi sunabi kawatillah ya Ghaust, ya Qutub
ya nawaituna agi sunabihormatillah
Syaidina Muhammad Rasulullah SAW

UNTAIAN kalimat di atas adalah hundang-hundang pembuka syair lamut. Hundang-hundang adalah mantra memanggil makhluk-makhluk pilihan yang 'bertahta' di alam jagat ini dalam prosesi lamut penyembuhan (pengobatan). Selain memanggil para malaikat, Nabi dan Rasul, hundang-hundang juga menyebut penguasa dunia seperti Iskandar Zulkarnain (Great Alexander) dan Nabi Khaidir (penguasa alam bawah laut).

Raden Jamhar Akbar adalah seniman palamutan senior yang masih bertahan. Ia memulai karier seninya sejak umur 12 tahun. Lelaki berusia 65 tahun ini mewarisi ketrampilan dari sang ayah: Raden Rusmana. Dalam tradisi keluarga ia adalah pemain lamut generasi ke empat. Sang Datuk Raden Ngabe Jayanegara yang asal Yogyakarta mewarisi ilmu seni sastra bertutur ini dari seorang Tionghoa di Amuntai. Raden Ngabe Jayanegara kemudian mewariskan ilmunya kepada Raden Simin, kakek Jamhar.

Cerita lamut, menurut Jamhar, sejatinya baru tuntas jika dimainkan selama 27 malam. "Saya pernah main 28 hari nonstop. Tapi ayah saya kuat balamut 33 malam," katanya, kemarin ketika ditemui di kediamannya di kawasan Alalak.

Ada lagi yang unik dari Jamhar. Sejatinya ia bergelar Raden. Tapi di masyarakat ia dikenal dengan sebutan Antung Jamhar. Di lembaran piagam penghargaan namanya malah ditulis Gusti Jamhar Akbar. Gusti adalah gelar bangsawan dalam kerajaaan Banjar. Setara dengan gelar Raden di Jawa. Ibu Jamhar adalah Gusti Ardiana, putri dari Gusti Mahdar, yang berdiam di Alalak.

Istrinya, mantan penggemarnya saat main kesenian wayang orang di Bong Cina di Jalan Veteran, bernama Nur Asia. Tapi sejatinya bernama Ko Liang Chin putri dari Ko Liang Pun. Mertua Jamhar adalah saudara dari Ko Liang Hap, pemilik bioskop Dewi yang tutup 90-an.

“Istri saya Cina Hongkong,” katanya.

Dalam sebulan Jamhar empat kali menampilkan lamut tiap Jumat malam di RRI Banjarmasin, dengan bayaran seadanya. Terakhir ia diundang Panitia Kongres Cerpen Indonesia V, di pengujung Oktober silam dan main di hadapan puluhan peserta kongres.

Selasa, 06 November 2007

Perahu Kayu Pulau Suwangi


Para pembuat perahu di Pulau Suwangi, Berangas, Alalak, Barito Kuala asyik bekerja. Satu kampung dikenal sebagai ahli-ahli pembuat perahu.

Membuat Janur


Ibu-ibu warga Kuin Utara Banjarmasin ini tengah asyik menganyam lembaran daun kelapa untuk membuat hiasan perlengkapan upacara Maulid Nabi. Janur yang mereka hasilkan berbentuk ular-ular, lipan (kaki seribu) dlsb.

Senin, 05 November 2007

Ampar-ampar Pisang



Beberapa orang batis bahunjur

Lalu bernyanyi sbb:
Ampar-ampar pisang
Pisangku balum masak
Masak sabigi dihurung bari-bari
Masak sabigi dihurung bari-bari
Manggalepok-manggalepok patah kayu bengkok
Bengkok di makan api
Apinya cangculupan
Bengkok di makan api
Apinya cangculupan
Nang mana batis kutung
Dikitip bidawang
Nang mana batis kutung
Dikitip bidawang.

Jumat, 02 November 2007

Wadai 41



Wadai 41 antara lain pundut nasi, cincin, lupis, cucur, patah asia, bingka kentang, apam paranggi, amparan tatak pisang, putri selat, kue lam, dan tapai.

bajukung dan bakalotok


Ini lokasinya di Taksian Jurusan Tamban di Taman Sari higa jembatan Antasari. Nang naik klotok tujuannya paling jauh ke Tamban, Kabupaten Barito Kuala. Mun urang nang bajukung rumahnya parak haja di sekitar Banjar sini jua.

Kamis, 01 November 2007

Kopiah Jangang Margasari

Dua pengunjung acara Kongres Budaya Banjar 1 di aula Bappeda, Banjarmasin, Rabu (31 Okt) dengan serius mengamati kopiah jangang produksi perajin Margasari, Kabupaten Tapin. Kedua kopiah jangang tersebut harganya masing-masing Rp150 ribu dan Rp200 ribu. Membuat kopiah jangang merupakan usaha kreatif pengisi waktu para petani di Margasari selepas musim tanam dan panen.


Main Bal Malawan Balanda

Berperahu di Sungsi

Pasar Sudimampir

Perahu Tambangan

Banjarmasin dari Udara

banjarmasin dari udara

masjid jami tempo doeloe

Senin, 27 Agustus 2007

300 Tahun


Inilah kain sutra sasirangan tua yang diperoleh di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Usianya diperkirakan sekitar 300 tahun. Kondisinya sudah tidak utuh lagi.

Oleh pemiliknya, Ida Fitria Kusuma, peninggalan nenek moyang ini akan tetap dipelihara, meski sempat ditawar oleh orang asing. Ia mendapatkan kain ini melalui barter dari pemilik sebelumnya. Ida mendapatkan hadiah dua lembar kain sutra sasirangan tua dari seorang wanita yang minta dibuatkan olehnya sasirangan. Salah satu telah dihibahkan ke Museum Tekstil Jakarta di Tanah Abang.

Ida adalah perajin yang berjasa mengembangkan sasirangan menjadi komoditas andalan Kalsel pada tahun 80-an. Ia melatih sejumlah kelompok belajar usaha sasirangan di Seberang Masjid (yang kini menjadi sentra usaha sasirangan di Kota Banjarmasin, red).

Sebelum menjadi busana biasa, sasirangan tadinya adalah kain pamintan yang sakral dan penuh 'aturan'. Proses pengembangan sasirangan berjalan mulus, setelah ada restu dari Putri Junjung Buih. Dalam Hikayat Banjar, sang putri pernah memesan kain ini kepada 40 gadis suci untuk persyaratan naiknya ia dari dalam air ke darat. Satu versi menyebut, Putri Junjung Buih adalah putri dari Nabi Khaidir.

Masjid Jami


Masjid Jami di Jalan Masjid Sungai Jingah adalah masjid tua pindahan dari masjid di Jalan Teluk Masigit. Masjid ini dibangun dengan semangat gotong royong dari semua warga Banjarmasin.

Kaum ibu (bahkan nenek-nenek) dari Kuin, Ujung Murung, wilayah sekitar Banjar bahu-membahu menggangkut tanah dari perahu dinaikkan ke darat bersama kaum pria untuk 'menembok' (meninggikan tanah) tempat lokasinya berdirinya bangunan baru. Peristiwanya terjadi sekitar tahun 1935.

Tukang yang membangun berasal dari Sungai Jingah. Mesjid semula di Jalan Panglima Batur kini menjadi bangunan mushala.

Ikan Patin

Pernah makan ikan patin? Patin adalah ikan air tawar yang dagingnya empuk dan tak bertulang. Di Banjarmasin, ada sebuah rumah makan patin yang layak dikunjungi. Namanya: Depot Sari Patin, pemiliknya pasangan Geman Yusup dan Diana.

Membuat Koran


Koran Indonesia Merdeka terbitan Banjarmasin edisi Juli 1973. Lihatlah materi beritanya:

"Di Kalsel supaya dikembangkan pula peternakan Itik/Sapi".

"Produksi beras Kalsel cukup dan tidak dikuatirkan".

PELABUHAN BANJARMASIN SEKILAS LINTAS:
"Semua bentuk penyeludpan beras di dalam daerah Pelabuhan BMasin akan dikikis habis"

Pendiri koran ini adalah (alm) Gusti Soegian Noor. Semula terbit dengan nama Suara Kalimantan, pada 5 Oktober 1945. Berubah nama menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1950. Masih terbit dengan alamat redaksi Jalan Masjid Jami, Kampung Gusti.

Sasirangan Pengobatan






Sasirangan dikenal bahan busana yang cukup indah. Semula popularitasnya belum dikenal seperti sekarang. Sasirangan mulai terangkat sejak tahun 80-an berkat peran sejumlah tokoh perajin dan budayawan Banjar.

Diantara yang layak disebut adalah Ida Fitria Kusuma (perajin yang bersemangat mengajar proses pembuatan sasirangan saat itu), Ideham Suriansyah dan Addi Maswardi (yang menjadi orang-orang pertama yang mengenakan kain sasirangan untuk busana) serta HM Said, gubernur Kalsel saat itu, yang mewajibkan pemakaian sasirangan menggantikan baju wajib Korpri.

Sisi lain yang menarik dari sasirangan adalah sebagai kain pamintan untuk fungsi pengobatan. Anda mungkin tak percaya. Tapi begitulah fakta di lapangan. Masih ada yang datang berhajat penyembuhan penyakit tertentu melalui ritual sasirangan. Yang bisa menyembuhkan pun hanyalah dari tutus keturunan pegustian Banjar. Mereka bergelar Antung atau Gusti. Yang masih aktif adalah Antung Mulik dan anaknya Antung Rahmiah. Antung Mulik adalah saudara Antung Kacil, 'dukun' kharismatik ahli pengobatan sasirangan terkenal di Kampung Seberang Masjid.

Minggu, 26 Agustus 2007

Dalang Rundi




Dalang Rundi, 70 tahun, asal Hamalau, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan tetap setia menjalankan profesi sebagai dalang wayang kulit Banjar. Ia murid dalang legendaris Ki Dalang Tulur asal Kampung Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Rundi tampil memikat Jumat (27 Juli 2007) malam lalu saat menyuguhkan lakon 'Antara Tugas dan Cinta' di halaman LPP-RRI Banjarmasin, memeriahkan acara Panggung Budaya Banjar. Cerita dihentikan di tengah jalan karena keburu disergap waktu Subuh.

"Dengan terpaksa cerita kita hentikan sampai di sini. Lain kali kalau ada waktu kita lanjutkan lagi. Kalau tidak bisa mengerjakan yang lima waktu, paling tidak kita bisa menghormati waktu (berhenti bermain saat waktu shalat Subuh masuk, red)," ujar Rundi, menutup pertunjukannya yang dihadiri sekitar 80-an penonton.

yang muda belajar tari

Didik Nini Thowok datang ke Banjarmasin, 19 Agustus 2007 lalu. Mendengar ada seorang maestro tari klasik Banjar, Didik 'memaksa' diantar ke tokoh tari itu. Maka meluncurlah kami ke kediaman Ibu Yurliani Djohansyah di Jalan Flamboyan, di daerah Kayu Tangi, Banjarmasin.

Wayang Banjar

Wayang Banjar

Jumat, 24 Agustus 2007

Dua Maestro Tari




Didik Nini Thowok baru saja tampil di Gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin, Minggu (19/8/2007) malam. Ia hadir untuk memeriahkan acara Hari Jadi Provinsi Kalsel ke-57, yang jatuh pada 14 Agustus.

Besoknya, begitu mendengar ada seorang maestro tari klasik topeng Banjar, sontak Didik 'memaksa' diantar ke kediaman Ibu Yurliani Djohansyah. Yurli, 80 tahun, sebenarnya sedang tidak dalam kondisi fit, tapi semangatnya bangkit karena Didik berhasil merayunya untuk memperlihatkan sedikit contoh gerakan tari klasik Banjar.

Jadilah Senin (20/8/2007) siang itu terjadi kolaborasi langka dua maestro. Aksi Didik dan Yurli ini sempat direkam untuk keperluan dokumentasi film dokumenter perjalan tari Didik Nini Thowok.

Senin, 02 Juli 2007

Semarak Budaya

Semarak Budaya Nusantara Meriahkan Pisah Sambut Kakanwil Deppen Kalsel

PERGELARAN budaya nusantara yang diwakili dua propinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, Sabtu malam [28 Mar] lalu menyemarakkan acara Pisah Sambut Kakanwil Departemen Penerangan Kalsel di Gedung Wanita Jalan Brigjen H Hassan Basry Banjarmasin.

Pejabat baru Kakanwil Deppen Kalsel Drs H Turmuzi Harun yang Banjar asli dan kelahiran Martapura, pada malam itu bahkan tampil solo membawakan lagu Paris Barantai. Sementara pejabat lama, H Andi Nyongki, BA yang berasal dari Ujungpandang dengan didukung sejumlah staf Kanwil Deppen Kalsel membawakan lagu daerah Anak Kukang.
“Saya biasa nyanyi di diskotik. Jadi tidak bisa kalau nyanyi di tempat ini. Saya biasa nyanyi karaoke,” gurau Andi Nyongki yang malam itu lantas memanggil satu-persatu anak buahnya untuk menemani dia membawakan lagu daerah Sulsel itu. Andi pun akhirnya selamat dari kewajiban menyanyi sendirian di atas panggung.

Hadir dalam acara itu antara lain Karo Humas Kalsel Drs Amanul Yakin, Ketua PWI Kalsel H Gusti Rusdi Effendi AR, Kepala Stasiun Produksi TVRI Banjarmasin R Djoko Gitoyo, Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin Sazli Rais, Kakandeppen se-Kalsel, dan jajaran keluarga besar Deppen Kalsel.

Selain lagu-lagu daerah, acara Pisah Sambut juga menampilkan tari tradisional Kalsel Baksa Kembang yang dibawakan oleh Ikatan Anak-anak Penerangan [Ikapen] Kalsel. Seusai membawakan tari klasik Banjar yang biasanya dipergunakan dalam upacara penyambutan tamu itu, Widya dan Fifi, kedua penarinya kemudian mempersembahkan bogam [rangkaian bunga melati] kepada Drs H Turmuzi Harun dan istri. Berikutnya, muncul Tari Kipas dari Sulsel yang dipersembahkan keluarga besar RRI Nusantara III Banjarmasin. Ketiga penari wanita yang mengenakan baju Bodo [pakaian khas wanita Sulsel] dengan kipas ditangan tampil gemulai.

Tempo seakan berubah menjadi lebih cepat ketika para pelajar SMUN 1 Kandangan yang mewakili Deppen Kabupaten Hulu Sungai Selatan menampilkan tari Jepen Tujuh Galuh Kandangan. Gerakan tari dari tujuh gadis berkerudung kuning yang lebih dinamik dibanding dua tarian sebelumnya ini mampu menghangatkan suasana malam Pisah Sambut. Apalagi para penabuh dari Grup Ading Bastari Barikin yang mengiringi tampil tak kalah bersemangat.

Warna budaya nusantara yang ditampilkan jajaran keluarga besar Deppen Kalsel pada acara Pisah Sambut tersebut memang begitu terasa. Selain lagu Banjar berjudul Uma Abah yang dibawakan pembawa acara, pembacaan puisi “tanpa judul” oleh seniman senior Hamami Adaby yang Kakandeppen Kabupaten Barito Kuala, penampilan grup paduan suara karyawan-karyawati Deppen Kotabaru juga tak ketinggalan menghibur dengan lagu daerah Paris Barantai: Kotabaru gunungnya bamega. Bamega ombak manampur di sala karang, ombak manampur di sala karang. Batamu lawanlah adinda. Adinda iman di dada rasa malayang, iman di dada rasa malayang.

Puncaknya, Kakanwil Deppen Kalsel Drs H Turmuzi Harun yang diam-diam memiliki suara yang tak kalah merdu dari penyanyi dangdut yang gubernur Jawa Timur Basofi, mengajak Kakandeppen se-Kalsel serta Kepala Stasiun Produksi TVRI Banjarmasin R Djoko Gitoyo dan Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin Sazli Rais untuk bernyanyi bersama. Turmuzi Harun bahkan sempat berduet dengan Djoko Gitoyo membawakan lagu gembira Kalsel yang sudah tidak asing lagi Sapu Tangan Babuncu Ampat. Sementara itu, dengan gaya yang kocak Hamami Adaby meningkahi sambil berjoget di atas panggung.

Andi Nyongki sendiri yang pada malam itu mengakhiri tugasnya sebagai Kakanwil Deppen Kalsel setelah menjabat selama 8 tahun 9 bulan 11 hari tampak sangat terharu. “Tempat ini sangat bersejarah bagi saya. Di Gedung Wanita inilah saya dilantik pada tanggal 15 Juni 1989,” kata Andi yang sebelum itu juga pernah menjabat sebagai Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin dan RRI Nusantara IV Ujungpandang.

Ikatan batin khusus yang telah terjalin begitu erat dengan masyarakat Kalsel terutama jajaran penerangan dan pers daerah ini membuat Andi malam itu tak kuasa menahan rasa haru. Dia memeluk hangat para undangan yang menyalaminya, sambil sesekali menyeka air matanya. Andi yang pensiun sejak 1 Januari 1998 lalu selanjutnya akan kembali ke kampung halamannya, Ujungpandang. yy (Banjarmasin Post, 30 Maret 1998).

Nasib Baksa


Nasib Baksa di Zaman Modern

TARI Baksa Kembang beberapa waktu lalu sempat membuat kagum sejumlah peserta Konferensi Internasional dan Pameran Batu Permata dan Pariwisata di Banjarmasin. Kelembutan gerak maupun keindahan busana penarinya [Gajang Gamuling] menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta konferensi dari berbagai negara tersebut.

Mungkin merasa unik, Dr Hiro Kurashina, anggota delegasi dari Guam yang berkebangsaan Jepang terlihat begitu asyik memotret para penari. Ketika seorang penari mendekatinya untuk mengalungkan bogam [rangkaian bunga melati], Hiro pun mengucapkan terima kasih sambil memberikan ciuman kepada si penari. Kemudian dia mengambil satu bogam lagi, dan mengalungkannya ke leher istrinya, Prof Rebecca Stephens.

Tarian klasik Banjar tersebut memang dipersembahkan untuk menyambut tamu agung atau orang-orang yang dihormati. Baksa Kembang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Kerajaan Banjar sendiri berdiri pada abad ke-15.

Menurut Yurliani Johansyah, pakar tari klasik Banjar, tari Baksa Kembang sudah ada sebelum pemerintahan Sultan Suriansyah [raja pertama Kerajaan Banjar, Red]. Tarian ini diciptakan satu masa dengan tari Baksa lainnya, Baksa Dadap, Baksa Lilin, Baksa Panah dan Baksa Tameng --pada zaman Hindu, pra masuknya Islam.

Dan, karena pengaruh Hindu tersebut, ada gerakan tertentu dari tari ini yang sempat menjadi perdebatan. Bahkan oleh mereka yang tidak menerima dengan paham itu, gerakan yang menjadi persoalan itu sengaja ditiadakan.

"Ada gerakan tarinya yang menyembah, dan ini dianggap kurang pas dengan Islam, sehingga ditinggalkan," ujar Yurliani. Tapi sekarang gerakan itu `hadir’ lagi dengan sejumlah perubahan karena maknanya dapat diterima.

Hal serupa, kata Yurliani, timbul ketika pakaian Bagajah Gamuling yang dinilai ‘kada babaju’ --busana dengan bagian atas dada agak terbuka karena hanya memakai udat.

***

BAKSA merupakan tarian yang lahir dari lingkaran keraton. Karena itu ciri utama gerakan tari ini adalah kehalusan dan menunjukkan kesantunan budi pekerti. Menurut R Suria Fadliansyah, salah satu koreografer tari di Kalsel, baksa berasal dari kata beksan yang memiliki arti halusan.

"Kehalusan tari baksa ini bisa kita lihat perbedaannya jika dibandingkan dengan tari rakyat seperti kuda gepang, jepen, tirik atau gandut," ungkap Suria.

Bagaimana perkembangan tarian ini? Baksa Kembang pada tahun 40-an masih belum tampil di panggung. Penarinya menari ke segala arah. Dari sejarahnya, papar Yurliani, sang penari tidak hanya ‘menghormat’ kepada raja tetapi kepada semua.

Sekarang, ketika arena tari pindah ke atas panggung, tujuan penghormatan satu arah, kepada orang di depan penari. Berubahnya perumahan [pola lantai] dan modifikasi gerakan terjadi dipengaruhi oleh perkembangan zaman maupun adat istiadat.

Bagaimana nasib tari baksa pada masa-masa yang akan datang?

Kelangsungan tarian klasik Banjar tersebut tergantung kita. Instansi pembina seperti DKD, Taman Budaya dan Lembaga Budaya Banjar dan kita semua punya tanggung jawab moral menjaga dan memeliharanya. Agar generasi yang akan datang tak hanya pernah mendengar ceritanya. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)

Kamis, 28 Juni 2007

Pagamal


Pagamal adalah penabuh gamalan. Gusti Ismail adalah pagamal terkenal yang tinggal di Kuin. Apa hubungannya dengan Gusti Husin dan Gusti Curat?

Rabu, 27 Juni 2007

Ada Bawayang di Ultah PKB

Malam Sabtu lalu (22/6) ada pertunjukan wayang kulit di halaman kantor PKB Jl Kuripan Banjarmasin. Yang tampil dalang dari Pantai Hambawang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Lawas kada manuntun Semar. Sayang, pergelaran bawayang sudah sangat langka. Kada musti ada satahun sakali. Penontonnya sekitar 20-an orang. Pada saat yang sama Dewi-Dewi, grup musik bentukan Ahmad Dani, menggelar show di sebuah pub hotel berbintang. Anda akan memilih nonton yang mana?

Bubuhan Gusti

Yang harat bagamal tu ternyata bubuhan Gusti di Subarang Masjid, Kampung Kabel dan di Taluk (Masigit). Gusti Zailani, Gusti Hanafiah, Gusti Curat, Gusti Alus. Ada lagi nang katuju bagamal di bawah pohon sawo (ujar Pak Anang Ardiansyah) ngarannya: dalang Anang Aliansyah, dalang Anang Gufransyah, dalang Ibramsyah. Adakah lagi nang harat-harat lainnya?

Siapa Dalang Tulur?

Dalang Tulur. Nama dalang legendaris ini selalu disebut-sebut jika membicarakan pertunjukkan wayang di Tanah Banjar. Tapi siapakah dia?

Tulur lahir tahun 1880 di Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Nama aslinya R Arya Tulur. Menilik gelarnya dari manakah asal Tulur?

Tulur mempunyai murid yang hingga kini masih aktif mendalang. Rundi, murid Tulur tersebut, pernah menyerap ilmu pedalangan kepada sang legendaris ini selama 1960-1963. Rundi sendiri memiliki nama asli Muhammad Kaderi. Panggilan Rundi lahir karena sang ayah adalah pedagang ronde. Dari Ronde menjadi Rundi. Inilah sosok Rundi yang berusia 70 tahun.