Jumat, 25 November 2011

Hj Sabah (Pembuat Bubur Sabilal) : Kebahagian Bisa Melayani Orang Berbuka



HARI-HARI Hj Sabah sepanjang bulan suci Ramadhan ini hingga menjelang Idul Fitri merupakan hari dan bulan pengabdian. Ia mendapat amanah tidak ringan yakni menyiapkan makanan berbuka bagi warga banua atau musafir yang berbuka puasa di Masjid Raya Sabilal Muhtadin.

Setiap hari dari pagi hingga menjelang Maghrib, Hj Sabah berkutat dengan bubur. Puluhan tahun amanah itu ia jalani tanpa mengeluh. Tepatnya seiring berdirinya Masjid Raya Sabilal Muhtadin sekitar awal tahun 1980-an. Bubur Sabilal, demikian jamaah menyebut bubur olahan Hj Sabah.

Mulanya tugas itu dipegang oleh ibu mertuanya Hj Badariah. "Saya membantu ibu memasak bubur untuk menu berbuka jamaah Masjid Sabilal pada zaman Badan Pengelola dipegang Guru Rafie Hamdi. Waktu itu zaman duit pecah (uang pecahan dari hasil sumbangan jamaah masjid) sampai sekarang pakai (dana) anggaran," ujar Hj Sabah (55 tahun) saat ditemui di kediamannya di Jalan Antasan Kecil Timur RT 11.

Dibantu oleh dua orang tetangganya, Hj Sabah memulai pekerjaan dengan merebus air pada pukul 07.00. Pada jam 10.00 tiga kawah pertama (berisi bubur) ia selesaikan. Pekerjaan berlanjut hingga ia menyelesaikan pekerjaan memasak bubur (9 kawah) sekitar jam 14.00.

"Tiap hari sekitar 3 blek (20 liter beras) yang cukup untuk sekitar 900 piring," kata istri H Anang Jarkasi, pensiunan pegawai pemda ini.

Bubur Sabilal olahan Hj Sabah merupakan bubur sop dengan unsur beras, kentang, wortel, daging, telur, ayam iris, rempah-rempah dan minyak samin.

"Bumbu rempah-rempahnya sudah saya siapkan jauh hari. Resepnya rahasia," ujar ibu anak dan nenek dari 3 cucu ini, seraya tersenyum. Yang susah pasti, ia tiap hari mesti menyiapkan telur 200 biji, daging 7 kg dan ayam 5 ekor, dan 40 liter minyak tanah untuk bahan bakar memasak bubur.

Selain melayani Masjid Sabilal, ada juga beberapa pelanggan

tetap di kota ini yang menyiapkan bubur sebagai hidangan menu berbuka puasa. "Yang sudah langganan Masjid Ratu Zaleha dan beberapa panti asuhan, pembeli perorangan serta warga sekitar sini," ungkap Hj Sabah yang di luar Ramadhan melayani memasak daging aqiqah dan katering untuk pengantin (soto dan aneka masakan).

Bubur yang telah masak kemudian ditaruh di dalam beberapa termos berukuran masing-masing antara 60 sampai 75 porsi. Tepat jam 16.30 bubur-bubur pesanan diantar ke Masjid Sabilal Muhtadin dengan mobil pick-up. Tak sempat beristirahat lama, Hj Sabah, dibantu 3 tenaga dan petugas masjid dengan telaten menyendok Bubur Sabilal yang masih panas dan wangi dan membaginya ke ratusan piring yang sudah disiapkan.

"Habis Maghrib baru tugas saya selesai. Dukanya, kalau pas memasak kompor macet karena akan terlambat juga mengantar ke masjid. Sukanya, ada kebahagiaan melihat orang berbuka dengan bubur hasil masakan kita," ujar Hj Sabah.

Melakukan pekerjaan melayani pesanan memasak bubur dalam jumlah besar 1000 hingga 2000 porsi sudah biasa ia lakukan. Karena itu kecelakaan kecil seperti terkena percikan panas air bubur ke tangan sudah tidak sekali dua. Seorang pekerjanya bahkan pernah terkena tumpahan bubur panas hingga harus beristirahat cukup lama karena kakinya melepuh.

"Pernah saya ditawari oleh panitia untuk membuat bubur sebanyak 3000 porsi untuk pemecahan rekor MURI, tetapi saya tolak karena tak sanggup kalau kerja sendirian," katanya.

Pernah, cerita dia, karena ingin ganti suasana panitia memutuskan menu berbuka selang-seling bubur dengan nasi. "Tapi ini cuma berlangsung dua hari, karena kalau nasi banyak yang terbuang. Sehingga menunya dikembalikan ke bubur," pungkas Hj Sabah. (atwoel)

Jumat, 04 September 2009

La Dekar

La Dekar:
Mencari Pisang Sampai ke Gambut


WAJAH sandro yang satu ini kelihatan puas sehabis menjalankan tugas memimpin upacara Mappanre Tasi, upacara sakral sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maka Kuasa di kalangan masyarakat nelayan Pagatan.

Tak banyak orang yang mengetahui liku-liku perjalanan tugasnya itu. Dari kisah mencari bahan-bahan upacara hingga persiapan 'lain' menjelang saat-saat upacara dimulai.

Karena tugasnya itu pula La Dekar sehari-semalam tidak tidur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk ritual rahasia yang dilakukannya pada pukul 02.00 Wita, sebelum acara puncak Minggu siang kemarin. Di dini hari itu La Dekar pergi ke pantai sendirian.

Melalui kontak spritual, La Dekar berdialog dengan para penguasa laut, sekaligus memberi tahu akan diselenggarakannya upacara persembahan.

"Saya ketemu dengan mereka, langsung," ujarnya kepada BPost, kemarin. Semua penguasa laut itu, kata La Dekar, menerima rencana upacara yang direncanakan.

La Dekar mulai menghayati ritual Mappanre Tasi sejak tahun 1960 ketika dia berusia 15 tahun, karena diajak kakeknya yang juga seorang sandro kala itu.

Dia menjelaskan, di antara bahan-bahan sesajen untuk upacara Mappanre Tasi yang paling penting justru pisang. Pisang yang dalam bahasa Bugis dinamakan oti barangan harus dicari sampai ke Gambut, Kabupaten Banjar. Itupun setelah dia bolak-balik mencarinya di sekitar Batu Licin, Kabupaten Kotabaru.

Pada pelaksanaan Mappanre Tasi tahun sebelumnya, pisang yang dalam satu pohon cuma ada tiga sisir itu bisa didapat di Pondok Butung, Kecamatan Batu Licin. "Tahun ini, karena kemarau, pisangnya mati semua."

Berdasarkan informasi seorang kenalan, pisang itu ditemukannya di Gambut. La Dekar pun memberikan pengganti sebesar Rp2. 000 untuk tiga sisir oti barangan tersebut. Harga sebenarnya, katanya, lebih rendah dari nilai uang yang diberikannya. Yang mahal justru ongkos transportasi dia ke sana-ke mari tadi.

Meskipun murah, kedudukan pisang tersebut lebih tinggi dari pisang raja yang juga digunakan dalam upacara. "Pangkatnya lebih tinggi dari pisang raja," jelas pria yang dilahirkan di Pagatan tepat tanggal 17 Agustus 1945 ini.

Sementara ayam jantan kaliabu dan ayam betina menugading masing-masing berharga Rp40.000 per ekor. Ayam dengan ciri-ciri khusus itupun menurutnya bukan kualitas terbaik. "Ayamnya kada [tidak] nomor satu," jelas La Dekar yang dengan kemarin telah empat kali menjadi sandro, sambil menerangkan ayam dengan kualitas tertentu seperti yang dipersyaratkan oleh upacara pun semakin sukar dicari.

Mengenai acara ritualnya sendiri, agar mencapai keselamatan didahului dengan membaca Surah Al Fatihah kepada Nabi. Sedangkan bacaan-bacaan selanjutnya dilakukan dalam bahasa Bugis.

Menurut dia, situasi krisis moneter tidak berarti mengurangi bahan-bahan upacara. Malahan kata dia, jika bahan yang dicari tidak sesuai dengan syarat dia lebih baik menolak memimpin upacara. Sebab yang menerima akibat adalah dirinya karena dialah yang saat itu menghadapi para penguasa laut tersebut.

"Bahan tetap, cuma harganya sekarang jadi larang [mahal]," ujar La Dekar yang dalam pembicaraan sehari-hari mengunakan Bahasa Bugis dan sedikit Bahasa Banjar. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)

Rabu, 11 Februari 2009

Aksi Barongsai (2)





Aksi Barongsai (1)





Tabuh Terus Mang!





Dua anggota Grup Barongsai Ideal --beralamat di Jalan AES Nasution-- dengan penuh semangat menabuh genderang, mengiringi pertunjukan Barongsai dan Liong.

Barongsai dan Liong di Pecinan









Barongsai dan Liong silih berganti menyapa warga Jalan Veteran (Pecinan).

Eksistensi Seni Tradisi




Di malam perayaan Cap Go Meh ini, para seniman musik tradisi tak mau ketinggalan ikut beraksi.