La Dekar:
Mencari Pisang Sampai ke Gambut
WAJAH sandro yang satu ini kelihatan puas sehabis menjalankan tugas memimpin upacara Mappanre Tasi, upacara sakral sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maka Kuasa di kalangan masyarakat nelayan Pagatan.
Tak banyak orang yang mengetahui liku-liku perjalanan tugasnya itu. Dari kisah mencari bahan-bahan upacara hingga persiapan 'lain' menjelang saat-saat upacara dimulai.
Karena tugasnya itu pula La Dekar sehari-semalam tidak tidur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk ritual rahasia yang dilakukannya pada pukul 02.00 Wita, sebelum acara puncak Minggu siang kemarin. Di dini hari itu La Dekar pergi ke pantai sendirian.
Melalui kontak spritual, La Dekar berdialog dengan para penguasa laut, sekaligus memberi tahu akan diselenggarakannya upacara persembahan.
"Saya ketemu dengan mereka, langsung," ujarnya kepada BPost, kemarin. Semua penguasa laut itu, kata La Dekar, menerima rencana upacara yang direncanakan.
La Dekar mulai menghayati ritual Mappanre Tasi sejak tahun 1960 ketika dia berusia 15 tahun, karena diajak kakeknya yang juga seorang sandro kala itu.
Dia menjelaskan, di antara bahan-bahan sesajen untuk upacara Mappanre Tasi yang paling penting justru pisang. Pisang yang dalam bahasa Bugis dinamakan oti barangan harus dicari sampai ke Gambut, Kabupaten Banjar. Itupun setelah dia bolak-balik mencarinya di sekitar Batu Licin, Kabupaten Kotabaru.
Pada pelaksanaan Mappanre Tasi tahun sebelumnya, pisang yang dalam satu pohon cuma ada tiga sisir itu bisa didapat di Pondok Butung, Kecamatan Batu Licin. "Tahun ini, karena kemarau, pisangnya mati semua."
Berdasarkan informasi seorang kenalan, pisang itu ditemukannya di Gambut. La Dekar pun memberikan pengganti sebesar Rp2. 000 untuk tiga sisir oti barangan tersebut. Harga sebenarnya, katanya, lebih rendah dari nilai uang yang diberikannya. Yang mahal justru ongkos transportasi dia ke sana-ke mari tadi.
Meskipun murah, kedudukan pisang tersebut lebih tinggi dari pisang raja yang juga digunakan dalam upacara. "Pangkatnya lebih tinggi dari pisang raja," jelas pria yang dilahirkan di Pagatan tepat tanggal 17 Agustus 1945 ini.
Sementara ayam jantan kaliabu dan ayam betina menugading masing-masing berharga Rp40.000 per ekor. Ayam dengan ciri-ciri khusus itupun menurutnya bukan kualitas terbaik. "Ayamnya kada [tidak] nomor satu," jelas La Dekar yang dengan kemarin telah empat kali menjadi sandro, sambil menerangkan ayam dengan kualitas tertentu seperti yang dipersyaratkan oleh upacara pun semakin sukar dicari.
Mengenai acara ritualnya sendiri, agar mencapai keselamatan didahului dengan membaca Surah Al Fatihah kepada Nabi. Sedangkan bacaan-bacaan selanjutnya dilakukan dalam bahasa Bugis.
Menurut dia, situasi krisis moneter tidak berarti mengurangi bahan-bahan upacara. Malahan kata dia, jika bahan yang dicari tidak sesuai dengan syarat dia lebih baik menolak memimpin upacara. Sebab yang menerima akibat adalah dirinya karena dialah yang saat itu menghadapi para penguasa laut tersebut.
"Bahan tetap, cuma harganya sekarang jadi larang [mahal]," ujar La Dekar yang dalam pembicaraan sehari-hari mengunakan Bahasa Bugis dan sedikit Bahasa Banjar. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)
Jumat, 04 September 2009
Rabu, 11 Februari 2009
Tabuh Terus Mang!
Lilin Cap Go Meh
Rabu, 14 Januari 2009
Lagu Marista Hamiedan
Selain piawai mencipta lagu daerah Banjar dan lagu Melayu, Hamiedan juga ternyata hebat dalam menyanyi. Setidaknya itu bisa terekam kalau kita mendengarkan album Pop Melayu Telabang Mas Vol. 3, produksi tahun 1970-an.
Side A album ini berisi Banjar Pop dengan lagu utama "Tatangis" (cipt. Hamiedan) yang dibawakan Rita. Nah, Hamiedan memamerkan kebolehan berolah suara pada lagu "Bulan Kabus" (cipt. Hamiedan) dan "Yun Yun Apan" (cipt. Hamiedan).
Di side B, yang berisi lagu Melayu Pop, Hamiedan lagi-lagi menunjukkan kemampuannya lewat lagu "Janda Kembang" (cipt. Hamiedan), "Kini Masanya" (cipt. A Chaliq) dan berduet dengan Rita dalam lagu "Menanti Yang Pergi (Si Cengeng)
Berikut petikan lagu "Tatangis" yang jadi andalan ambum Telabang Mas Vol. 3 ini:
Tatangis ..... diri tatangis
Mangganang wayah dahulu
Aduhai, wayah dahulu, wayah dahulu
Tatangis ..... aku tatangis
Mangganang wayah batamu
Aduhai wayah batamu, wayah batamu
Kaganangan ........ maantar kambang
Patalian .... gasan larangan
Aduhai gasan larangan, gasan larangan
........
*** Versi lain dari lagu "Tatangis" ini bersyair sbb:
Tatangis, aku tatangis
Mangganang masa silam,
masa nang silam
Aduhai nang kaya duri
di dalam badan
Lantaran cinta diriku nang kaya ini
Nang kaya ini, siang rindang, malam dandam Kurindang dandam
Aduhai...badanku ini, hancur di dalam
Saputih banyu susu
Semanis madu
Nang disurung wan aku
Ai wayah dahulu
Saban kali batamu
Sanang hatiku
Riwayat bahagia
Kadada bandingnya
Rasa takibar sumangat
Lamun baduaan
Manggitir sukma ragaku
Dipaluk dirayu
Tatangis, aku tatangis
Bayangan masa silam
tatap kuganang
Aduhai... selama hayat
di kandung badan
Hamiedan sampai kini nampaknya belum tertandingi oleh pencipta-pencipta lagu Banjar lainnya dalam melukiskan penderitaan dalam syair-syair lagunya. Lagu "Bulan Kabus" lagi-lagi memotret kesedihan dengan sempurna. (Lagu ini nampaknya terkait dengan pengalaman pribadinya)
Berikut syairnya:
Sapuluh tahun nang lalu
Masih taganang di hatiku
Marista diriku uuuuuuuu
Mangalami masa itu
Tarangnya bulan di malam hari
Duduk batatai maikat janji iiiiiiiiiii
Biarkan lawas 'ku mahadang ngggggggg
Mangharap guring saranjang
Sahari jadi satahun
Satahun manjadi racun
Racun takumpul di dalam hatiku
Padihnya macam tahiris sambilu
Bulan nang tarang baganti kabus
Tatukup ambun nang kaya kukus
Tasiksa diriku uuuuuuuuu
Hidup kahada manantu
Umai, marista banar......... sampai-sampai bulan tarang baganti kabus.
Rabu, 07 Januari 2009
Pucuk Pisang dan Dunia Belum Kiamat (Hamiedan AC)
Adakah pembaca yang pernah mendengar nama ini? Hamiedan AC.
Di tahun 70-an, anak-anak kecil dulu sering berdendang salah satu lagu karya beliau yang berjudul "Pucuk Pisang". Tapi yang dibunyikan dan diulang-ulang cuma kata-kata: "pucuk pisang, pucuk pisang ading ai gadangnya layu, gadangnya layu".
Seorang kawan menyatakan, lagu ini berirama japin dan lagu gandut. Hamiedan AC yang memilih berkarir di Jakarta, selain meninggalkan warisan lagu "Pucuk Pisang" juga telah menciptakan sejumlah lagu hit antara lain "Tatangis". Syairnya begini: "...Tatangis, diri tatangis. Mangganang wayah dahulu. Aduhai wayah dahulu, wayah dahulu..." Ah, sedih banget, pembaca.
Ciptaan Hamiedan yang menasional dan layak dicatat dengan tinta emas adalah lagu "Dunia Belum Kiamat". Lagu terakhir adalah lagu dahsyat yang dinyanyikan oleh Titiek Sandhora bersama Muchsin Alatas. "Dunia Belum Kiamat" sekaligus lagu film musikal berjudul sama, dengan pemeran pasangan abadi yang nampak rukun hingga kakek nenek ini.
Oh ya, berikut salinan lagu "Pucuk Pisang" itu:
Pucuk Pisang
Cipt. Hamiedan AC
Pucuk pisang gadangnya layu
Si pucuk pisang ading'ai
gadangnya layu
Kamana jua maambunakan
kamana jua ading'ai
maambunakan
Kuhadang-hadang baluman lalu
Kuhadang-hadang, ading'ai
Baluman lalu
Kamana jua manakunakan, ading'ai
manakunakan
Kamana jua ading'ai,
manakunakan
Banyu hanta kuliling jukung
Banyu hanta kuliling jukung
Kapal api di palabuhan, ading'ai
di palabuhan
Kapal api ading'ai di palabuhan
Banyu mata kada tatampung
Banyu mata kada tatampung
Jangan lagi bajajauhan, ading'ai
bajajauhan
Jangan lagi ading'ai
bajajauhan
Dan yang ini, "Dunia Belum Kiamat"
Titiek Sandhora - Dunia Belum Kiamat (Feat. Muchsin Alatas)
Pikir-pikir sampai tua
Dari miskin siapa
Yang mau
Sabarlah sabar
Tunggu dulu
Belum tentu orang
Tak mau
Sudah kupikir sama saja
Jauh tinggi bulan
Dan bintang
Sampai kemana abang
Mimpi
Banyak pikir-pikir
Merusak hati
Kembang tidak setangkai
Dunia belum kiamat
Panjang umur dan ada jodoh
Banyak gadis pilihan
Banyak janda uwik uwik
Dunia belum kiamat
Kalau begini apalagi
Tentu adik suka padaku
Pikir sendiri tebak saja
Tentu tahu isi hatiku...
*** Sebagai info tambahan, bagaimana posisi Hamiedan selaku pencipta lagu era tahun 70-an, bersama nama-nama besar lainnya, artikel di bawah ini ada mencatat namanya.
Grup Musik Padi
Lagu Baru Rasa Lama
DALAM albumnya yang keempat berjudul Padi atau self-titled yang peluncurannya dilakukan Senin, 9 Mei 2005, Piyu, Fadil Rindra, Ari, dan Yoyo menyertakan tiga pemusik kawakan: pianis jazz Bubi Chen, pemain kibor rock Abadi Soesman, dan penggesek biola Idris Sardi. Apa yang mereka lakukan ini dengan tujuan mencapai sesuatu yang kelihatannya tertunda, yaitu menghadirkan sebuah lagu baru dengan nuansa tahun 1960-an.
LAGU itu berjudul Masih Tetap Tersenyum, diletakkan pada deretan terakhir setelah Prolog, Tak Hanya Diam, Menanti Sebuah Jawaban, Elok, Siapa Gerangan Dirinya, Menerobos Asap, Save My Soul, Akhir Dunia, dan Ternyata Cinta. Gesekan biolla Idris Sardi membuat Masih Tetap Tersenyum mencapai suasana yang diinginkan Padi, yaitu lagu baru rasa lama.
Album ini memang jadinya sangat berbeda dengan tiga album sebelumnya, Lain Dunia (1999), Sesuatu yang Tertunda (2001), dan Save My Soul (2003). Terutama Save My Soul yang bernuansa hitam. Sesuai dengan judul dan lagu-lagunya, Save My Soul benar-benar menggambarkan Padi yang sedang gelisah, kecewa, dan rasa takut pada kematian, hingga memengaruhi kemampuan Save My Soul menggapai sasaran, yaitu penggemarnya. Tidak heran jika pada album barunya kali ini Padi berubah, atau lebih tepat kembali ke asal, dengan penuh harapan dan cinta sebagai tema sentral. Kalaupun cintanya tidak sampai, Padi tetap tersenyum.
Kalau biola Idris Sardi dominan, kibor Abadi Soesman dalam Tak Hanya Diam dan tabla Kousik Dutta dalam Save My Soul menyatu, tidak demikian dengan piano Bubi Chen dalam lagu Elok. Bubi benar-benar menjadi tamu dalam album ini.
Kembali Padi ke asalnya memang tidak sekaligus mengembalikannya ke tahun 1960-an, nada dan musik, lagunya yang lain masih tetap dengan musik era tahun 2000-an. Seperti Padi, grup musik pop tahun 1960-an juga menengok ke belakang, lalu memainkan musik keroncong seperti yang dilakukan Eka Sapta dan Koes Plus. Memang Padi tidak harus berkeroncong ria karena Masih Tetap Tersenyum sudah menggambarkan bahwa karya musik generasi musik sekarang tidak terputus dengan generasi musik sebelumnya.
JADI apa yang dilakukan Padi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Hanya saja, kebetulan yang melakukannya sebuah grup yang terdiri dari pemusik berusia muda dan sedang menjadi pujaan remaja masa kini. Banyak usaha pemusik dan pencipta lagu lain menghadirkan lagu baru bertema masa lalu. Kolaborasi Ireng Maulana (penata musik), Amin Ivo’s (pencipta lagu), dan Dewi Yull (penyanyi) dengan Kau Bukan Dirimu tahun 1993 adalah contoh konkret.
Kau Bukan Dirimu tidak hanya berhasil secara komersial, juga membangun nuansa 1960-an di masyarakat. Hingga musik panggung, televisi, dan radio pada pertengahan dekade 1990-an menjadi serba nostalgia. Tidak heran jika pada kurun waktu itu Amin Ivo’s kebanjiran order. Setelah Kau Bukan Dirimu, Dewi Yull membawakan lagu yang kedua, Kini Baru Kau Rasa (1994), lagu Amin juga dibawakan Rafika Duri (Kekasih, 1994), Andy Meriem Matalata (Mudahnya Bilang Cinta, 1994), Christine Panjaitan (Getaran Kasih, 1995), Emilia Contessa (Takkan Pasrah, 1995).
Karakter konsumen industri musik kita memang tidak pernah berubah. Aku masih seperti yang dulu, kata Pance F Pondaag dalam lagunya, Tak Ingin Sendiri, yang dinyanyikan Dian Piesesha tahun 1984. Kalimat yang serupa tapi tidak sama diulang Amin Ivo’s sembilan tahun kemudian dan keduanya sama-sama mendulang emas. Yang dimaksud dengan karakter industri rekaman Indonesia adalah pencipta lagu, penyanyi, pemusik, produsen, dan konsumennya yang selalu ingin seperti dulu.
"Masyarakat kita adalah masyarakat yang romantis. Lihat saja, lagu-lagu yang populer umumnya adalah tentang keindahan cinta dan problem kehidupan. Saya percaya lagu-lagu seperti Kau Bukan Dirimu akan selalu kembali disuka. Kejenuhan akan timbul karena banyaknya penyanyi dan grup musik remaja sehingga lagu dari tahun 1960-an pada suatu waktu disukai lagi seperti tahun 1993," kata Amin Ivo’s yang, walaupun sudah menjadi kakek dari 10 cucu dan berusia 62 tahun, masih tetap produktif. Lagu barunya, Tiada Penggantimu, dibawakan Dewi Yull berduet dengan Eddy Bandi dalam album Jangan Ada Perpisahan di Antara Kita.
Namun, Amin tetap tidak bisa menduga kapan kejenuhan yang dimaksudkannya akan terjadi. Seperti dia tidak pernah mengira Kau Bukan Dirimu bisa menjadi sebuah lagu hit yang memutar roda industri musik rekaman lebih deras dari sebelumnya. Amin mengaku mencipta lagu sesuai dengan pengalaman pada waktu mudanya. "The man who writes about himself and his own time, is the only man who write about all people and about all time," kata pujangga Inggris, George Bernard Shaw, dalam The Sanity of Art. Jadi Amin berada pada jalan yang benar.
Kalau ada produsen yang peduli pada pengalamannya seperti Amin tapi tidak menggubris hadirnya begitu banyak grup musik remaja, salah satunya adalah Hadi Sunyoto dari HP Records. Jika tidak menerbitkan lagu baru, produksinya hampir selalu berisi lagu-lagu lama.
"Saya memang tidak bisa menikmati musik anak muda sekarang. Walaupun saya hampir selalu memproduksi lagu-lagu baru, tapi lirik, melodi, dan aransemen musiknya bernuansa tahun 1960-an. Duet Dewi Yull dan Broery termasuk berhasil, begitu juga lagu-lagu Titiek Puspa," kata Hadi Sunyoto yang berencana menerbitkan 300 judul CD berisi lagu Koes Plus, Franky & Jane, Dewi Yull, Broery Pesolima, Pance Pondaag, Rinto Harahap, Rita Sugiarto, Obbie Messakh, Bimbo, Titiek Puspa, Ebiet G Ade, Bill & Broad, Gombloh, hingga Ida Leila, Iis Darliah, dan sederetan nama lainnya. CD-CD itu akan dijual seharga kaset.
"Rp 20.000 per CD saya kira tidak jauh berbeda dengan harga kaset. Selain untuk mencapai konsumen lagu-lagu nostalgia lebih luas, harapan saya adalah harganya bisa menyaingi CD-CD bajakan," kata Hadi menambahkan.
Dia tidak mengandalkan seorang pencipta lagu saja. Walaupun Amin memberikan lagu keduanya, Kini Baru Kau Rasa, yang dinyanyikan Dewi Yull untuk HP Records tahun 1994, Hadi juga mengandalkan pencipta lagu baru rasa lama lainnya, seperti Harry Tasman, Topik Yahya, dan Tigor Pangaribuan.
Yang sejalan dengan Hadi Sunyoto adalah John A Sheyoputra. Bedanya, John juga adalah pencipta lagu di samping produsen RPL Record, yang tahun lalu menampilkan kembali penyanyi grup Pancaran Sinar Petromaks, Ade Anwar, dalam album berisi lagu baru dengan rasa lama, Busway.
"Saya mengikuti perkembangan musik sekarang, tapi dalam mencipta lagu tetap saja saya terbawa pada pengalaman masa lalu," aku John, yang mempersiapkan sekitar 20 lagu barunya ditambah lagu pencipta lain untuk diterbitkan dalam sembilan album lagu-lagu berbau nostalgia: Album Spesial 2005, Ade Anwar PSP Top Hits, Johan Untung Top Hits, Endang S Taurina Top Hits 1 dan 2, Cut Esti New Hits, Best of Best 2005, Putus Cinta, dan Bokis.
Seperti Hadi, John tidak hanya bergantung pada penyanyi dan lagu baru. Dia merekam kembali penyanyi tahun 1970-an dan 1980-an, Vivi Sumanti, Arie Koesmiran, Johan Untung, Endang S Taurina, di samping penyanyi baru, Ayu (putri Vivi Sumanti), Rio (keponakan Grace Simon), Baby (putri mantan peniup saksofon grup Pretty Sister, Yuyun George), dan Cut Esti. Serta menggandeng pencipta lagu kondang seperti Is Haryanto, Parsaroan Manurung, Yasir Syam, Yessy Wenas, Adriadie, Surni Warkiman, Mus K Wirya, selain memproduksi kembali lagu-lagu A Riyanto, Muchtar Embut, Zaenal Arifin, Hamiedan, dan Ismail Marzuki.
Hal yang sama dilakukan Lies Hadi. Mantan penyanyi era 1970-an ini bahkan tidak hanya mencipta lagu dan memproduksi, tetapi sekaligus juga merekam dengan vokalnya. Lies Hadi banyak memproduksi lagu-lagu nostalgia bernuansa Ramadhan. Lagu-lagu baru rasa lamanya dibawakan penyanyi lain, seperti Gito Rollies, Ermy Kullit, dan Widyawati.
Produksi Gema Nada Pertiwi Records juga bernostalgia walaupun, menurut pemiliknya, Hendarmin Susilo, penjualan kasetnya hanya ratusan keping setiap bulan. Perusahaan rekaman ini banyak merekam ulang produksi lagu-lagu tahun 1960-an dan 1970-an dari Remaco, seperti yang dilakukan Atlantic Record, Virgo Ramayana, Cipta Suara Sebening, dan Blackboard.
"Memproduksi lagu-lagu nostalgia harus sabar. Biasanya pas untuk pengusaha seusia saya," kelakar Hendarmin yang berusia 58 tahun. Langkah Hendarmin bisa dikatakan lebih gesit karena dia mengedarkan juga produksinya hingga ke daratan RRC. Ia bahkan membawa Gesang dan Waljinah berkeroncong ke Shanghai dan mengalihbahasakan lirik sejumlah lagu keroncong ke bahasa Mandarin untuk konsumsi konsumen negeri tirai bambu itu.
Gema Nada Pertiwi Records adalah satu-satunya perekam yang memproduksi sekitar 10 album gesekan biola Idris Sardi. Mulai dari instrumental lagu-lagu perjuangan hingga lagu pop populer masa kini. Jadi tidak heran jika Idris Sardi juga menginstrumentalkan dengan biolanya lagu Padi berjudul Kasih Tak Sampai, yang membuat Piyu tersanjung dan terjalinlah hubungan pemusik dua generasi.
Ketika masuk studio rekaman merampungkan album self-titled, Piyu menginginkan salah sebuah lagu musiknya bernuansa tahun 1960-an. Dia langsung teringat sang maestro biola yang pernah dijumpainya dalam sebuah acara. Jadilah sebuah lagu baru rasa lama, Masih Tetap Tersenyum.
THEODORE KS Penulis Masalah Industri Musik
Kompas Jumat, 27 Mei 2005
Di tahun 70-an, anak-anak kecil dulu sering berdendang salah satu lagu karya beliau yang berjudul "Pucuk Pisang". Tapi yang dibunyikan dan diulang-ulang cuma kata-kata: "pucuk pisang, pucuk pisang ading ai gadangnya layu, gadangnya layu".
Seorang kawan menyatakan, lagu ini berirama japin dan lagu gandut. Hamiedan AC yang memilih berkarir di Jakarta, selain meninggalkan warisan lagu "Pucuk Pisang" juga telah menciptakan sejumlah lagu hit antara lain "Tatangis". Syairnya begini: "...Tatangis, diri tatangis. Mangganang wayah dahulu. Aduhai wayah dahulu, wayah dahulu..." Ah, sedih banget, pembaca.
Ciptaan Hamiedan yang menasional dan layak dicatat dengan tinta emas adalah lagu "Dunia Belum Kiamat". Lagu terakhir adalah lagu dahsyat yang dinyanyikan oleh Titiek Sandhora bersama Muchsin Alatas. "Dunia Belum Kiamat" sekaligus lagu film musikal berjudul sama, dengan pemeran pasangan abadi yang nampak rukun hingga kakek nenek ini.
Oh ya, berikut salinan lagu "Pucuk Pisang" itu:
Pucuk Pisang
Cipt. Hamiedan AC
Pucuk pisang gadangnya layu
Si pucuk pisang ading'ai
gadangnya layu
Kamana jua maambunakan
kamana jua ading'ai
maambunakan
Kuhadang-hadang baluman lalu
Kuhadang-hadang, ading'ai
Baluman lalu
Kamana jua manakunakan, ading'ai
manakunakan
Kamana jua ading'ai,
manakunakan
Banyu hanta kuliling jukung
Banyu hanta kuliling jukung
Kapal api di palabuhan, ading'ai
di palabuhan
Kapal api ading'ai di palabuhan
Banyu mata kada tatampung
Banyu mata kada tatampung
Jangan lagi bajajauhan, ading'ai
bajajauhan
Jangan lagi ading'ai
bajajauhan
Dan yang ini, "Dunia Belum Kiamat"
Titiek Sandhora - Dunia Belum Kiamat (Feat. Muchsin Alatas)
Pikir-pikir sampai tua
Dari miskin siapa
Yang mau
Sabarlah sabar
Tunggu dulu
Belum tentu orang
Tak mau
Sudah kupikir sama saja
Jauh tinggi bulan
Dan bintang
Sampai kemana abang
Mimpi
Banyak pikir-pikir
Merusak hati
Kembang tidak setangkai
Dunia belum kiamat
Panjang umur dan ada jodoh
Banyak gadis pilihan
Banyak janda uwik uwik
Dunia belum kiamat
Kalau begini apalagi
Tentu adik suka padaku
Pikir sendiri tebak saja
Tentu tahu isi hatiku...
*** Sebagai info tambahan, bagaimana posisi Hamiedan selaku pencipta lagu era tahun 70-an, bersama nama-nama besar lainnya, artikel di bawah ini ada mencatat namanya.
Grup Musik Padi
Lagu Baru Rasa Lama
DALAM albumnya yang keempat berjudul Padi atau self-titled yang peluncurannya dilakukan Senin, 9 Mei 2005, Piyu, Fadil Rindra, Ari, dan Yoyo menyertakan tiga pemusik kawakan: pianis jazz Bubi Chen, pemain kibor rock Abadi Soesman, dan penggesek biola Idris Sardi. Apa yang mereka lakukan ini dengan tujuan mencapai sesuatu yang kelihatannya tertunda, yaitu menghadirkan sebuah lagu baru dengan nuansa tahun 1960-an.
LAGU itu berjudul Masih Tetap Tersenyum, diletakkan pada deretan terakhir setelah Prolog, Tak Hanya Diam, Menanti Sebuah Jawaban, Elok, Siapa Gerangan Dirinya, Menerobos Asap, Save My Soul, Akhir Dunia, dan Ternyata Cinta. Gesekan biolla Idris Sardi membuat Masih Tetap Tersenyum mencapai suasana yang diinginkan Padi, yaitu lagu baru rasa lama.
Album ini memang jadinya sangat berbeda dengan tiga album sebelumnya, Lain Dunia (1999), Sesuatu yang Tertunda (2001), dan Save My Soul (2003). Terutama Save My Soul yang bernuansa hitam. Sesuai dengan judul dan lagu-lagunya, Save My Soul benar-benar menggambarkan Padi yang sedang gelisah, kecewa, dan rasa takut pada kematian, hingga memengaruhi kemampuan Save My Soul menggapai sasaran, yaitu penggemarnya. Tidak heran jika pada album barunya kali ini Padi berubah, atau lebih tepat kembali ke asal, dengan penuh harapan dan cinta sebagai tema sentral. Kalaupun cintanya tidak sampai, Padi tetap tersenyum.
Kalau biola Idris Sardi dominan, kibor Abadi Soesman dalam Tak Hanya Diam dan tabla Kousik Dutta dalam Save My Soul menyatu, tidak demikian dengan piano Bubi Chen dalam lagu Elok. Bubi benar-benar menjadi tamu dalam album ini.
Kembali Padi ke asalnya memang tidak sekaligus mengembalikannya ke tahun 1960-an, nada dan musik, lagunya yang lain masih tetap dengan musik era tahun 2000-an. Seperti Padi, grup musik pop tahun 1960-an juga menengok ke belakang, lalu memainkan musik keroncong seperti yang dilakukan Eka Sapta dan Koes Plus. Memang Padi tidak harus berkeroncong ria karena Masih Tetap Tersenyum sudah menggambarkan bahwa karya musik generasi musik sekarang tidak terputus dengan generasi musik sebelumnya.
JADI apa yang dilakukan Padi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Hanya saja, kebetulan yang melakukannya sebuah grup yang terdiri dari pemusik berusia muda dan sedang menjadi pujaan remaja masa kini. Banyak usaha pemusik dan pencipta lagu lain menghadirkan lagu baru bertema masa lalu. Kolaborasi Ireng Maulana (penata musik), Amin Ivo’s (pencipta lagu), dan Dewi Yull (penyanyi) dengan Kau Bukan Dirimu tahun 1993 adalah contoh konkret.
Kau Bukan Dirimu tidak hanya berhasil secara komersial, juga membangun nuansa 1960-an di masyarakat. Hingga musik panggung, televisi, dan radio pada pertengahan dekade 1990-an menjadi serba nostalgia. Tidak heran jika pada kurun waktu itu Amin Ivo’s kebanjiran order. Setelah Kau Bukan Dirimu, Dewi Yull membawakan lagu yang kedua, Kini Baru Kau Rasa (1994), lagu Amin juga dibawakan Rafika Duri (Kekasih, 1994), Andy Meriem Matalata (Mudahnya Bilang Cinta, 1994), Christine Panjaitan (Getaran Kasih, 1995), Emilia Contessa (Takkan Pasrah, 1995).
Karakter konsumen industri musik kita memang tidak pernah berubah. Aku masih seperti yang dulu, kata Pance F Pondaag dalam lagunya, Tak Ingin Sendiri, yang dinyanyikan Dian Piesesha tahun 1984. Kalimat yang serupa tapi tidak sama diulang Amin Ivo’s sembilan tahun kemudian dan keduanya sama-sama mendulang emas. Yang dimaksud dengan karakter industri rekaman Indonesia adalah pencipta lagu, penyanyi, pemusik, produsen, dan konsumennya yang selalu ingin seperti dulu.
"Masyarakat kita adalah masyarakat yang romantis. Lihat saja, lagu-lagu yang populer umumnya adalah tentang keindahan cinta dan problem kehidupan. Saya percaya lagu-lagu seperti Kau Bukan Dirimu akan selalu kembali disuka. Kejenuhan akan timbul karena banyaknya penyanyi dan grup musik remaja sehingga lagu dari tahun 1960-an pada suatu waktu disukai lagi seperti tahun 1993," kata Amin Ivo’s yang, walaupun sudah menjadi kakek dari 10 cucu dan berusia 62 tahun, masih tetap produktif. Lagu barunya, Tiada Penggantimu, dibawakan Dewi Yull berduet dengan Eddy Bandi dalam album Jangan Ada Perpisahan di Antara Kita.
Namun, Amin tetap tidak bisa menduga kapan kejenuhan yang dimaksudkannya akan terjadi. Seperti dia tidak pernah mengira Kau Bukan Dirimu bisa menjadi sebuah lagu hit yang memutar roda industri musik rekaman lebih deras dari sebelumnya. Amin mengaku mencipta lagu sesuai dengan pengalaman pada waktu mudanya. "The man who writes about himself and his own time, is the only man who write about all people and about all time," kata pujangga Inggris, George Bernard Shaw, dalam The Sanity of Art. Jadi Amin berada pada jalan yang benar.
Kalau ada produsen yang peduli pada pengalamannya seperti Amin tapi tidak menggubris hadirnya begitu banyak grup musik remaja, salah satunya adalah Hadi Sunyoto dari HP Records. Jika tidak menerbitkan lagu baru, produksinya hampir selalu berisi lagu-lagu lama.
"Saya memang tidak bisa menikmati musik anak muda sekarang. Walaupun saya hampir selalu memproduksi lagu-lagu baru, tapi lirik, melodi, dan aransemen musiknya bernuansa tahun 1960-an. Duet Dewi Yull dan Broery termasuk berhasil, begitu juga lagu-lagu Titiek Puspa," kata Hadi Sunyoto yang berencana menerbitkan 300 judul CD berisi lagu Koes Plus, Franky & Jane, Dewi Yull, Broery Pesolima, Pance Pondaag, Rinto Harahap, Rita Sugiarto, Obbie Messakh, Bimbo, Titiek Puspa, Ebiet G Ade, Bill & Broad, Gombloh, hingga Ida Leila, Iis Darliah, dan sederetan nama lainnya. CD-CD itu akan dijual seharga kaset.
"Rp 20.000 per CD saya kira tidak jauh berbeda dengan harga kaset. Selain untuk mencapai konsumen lagu-lagu nostalgia lebih luas, harapan saya adalah harganya bisa menyaingi CD-CD bajakan," kata Hadi menambahkan.
Dia tidak mengandalkan seorang pencipta lagu saja. Walaupun Amin memberikan lagu keduanya, Kini Baru Kau Rasa, yang dinyanyikan Dewi Yull untuk HP Records tahun 1994, Hadi juga mengandalkan pencipta lagu baru rasa lama lainnya, seperti Harry Tasman, Topik Yahya, dan Tigor Pangaribuan.
Yang sejalan dengan Hadi Sunyoto adalah John A Sheyoputra. Bedanya, John juga adalah pencipta lagu di samping produsen RPL Record, yang tahun lalu menampilkan kembali penyanyi grup Pancaran Sinar Petromaks, Ade Anwar, dalam album berisi lagu baru dengan rasa lama, Busway.
"Saya mengikuti perkembangan musik sekarang, tapi dalam mencipta lagu tetap saja saya terbawa pada pengalaman masa lalu," aku John, yang mempersiapkan sekitar 20 lagu barunya ditambah lagu pencipta lain untuk diterbitkan dalam sembilan album lagu-lagu berbau nostalgia: Album Spesial 2005, Ade Anwar PSP Top Hits, Johan Untung Top Hits, Endang S Taurina Top Hits 1 dan 2, Cut Esti New Hits, Best of Best 2005, Putus Cinta, dan Bokis.
Seperti Hadi, John tidak hanya bergantung pada penyanyi dan lagu baru. Dia merekam kembali penyanyi tahun 1970-an dan 1980-an, Vivi Sumanti, Arie Koesmiran, Johan Untung, Endang S Taurina, di samping penyanyi baru, Ayu (putri Vivi Sumanti), Rio (keponakan Grace Simon), Baby (putri mantan peniup saksofon grup Pretty Sister, Yuyun George), dan Cut Esti. Serta menggandeng pencipta lagu kondang seperti Is Haryanto, Parsaroan Manurung, Yasir Syam, Yessy Wenas, Adriadie, Surni Warkiman, Mus K Wirya, selain memproduksi kembali lagu-lagu A Riyanto, Muchtar Embut, Zaenal Arifin, Hamiedan, dan Ismail Marzuki.
Hal yang sama dilakukan Lies Hadi. Mantan penyanyi era 1970-an ini bahkan tidak hanya mencipta lagu dan memproduksi, tetapi sekaligus juga merekam dengan vokalnya. Lies Hadi banyak memproduksi lagu-lagu nostalgia bernuansa Ramadhan. Lagu-lagu baru rasa lamanya dibawakan penyanyi lain, seperti Gito Rollies, Ermy Kullit, dan Widyawati.
Produksi Gema Nada Pertiwi Records juga bernostalgia walaupun, menurut pemiliknya, Hendarmin Susilo, penjualan kasetnya hanya ratusan keping setiap bulan. Perusahaan rekaman ini banyak merekam ulang produksi lagu-lagu tahun 1960-an dan 1970-an dari Remaco, seperti yang dilakukan Atlantic Record, Virgo Ramayana, Cipta Suara Sebening, dan Blackboard.
"Memproduksi lagu-lagu nostalgia harus sabar. Biasanya pas untuk pengusaha seusia saya," kelakar Hendarmin yang berusia 58 tahun. Langkah Hendarmin bisa dikatakan lebih gesit karena dia mengedarkan juga produksinya hingga ke daratan RRC. Ia bahkan membawa Gesang dan Waljinah berkeroncong ke Shanghai dan mengalihbahasakan lirik sejumlah lagu keroncong ke bahasa Mandarin untuk konsumsi konsumen negeri tirai bambu itu.
Gema Nada Pertiwi Records adalah satu-satunya perekam yang memproduksi sekitar 10 album gesekan biola Idris Sardi. Mulai dari instrumental lagu-lagu perjuangan hingga lagu pop populer masa kini. Jadi tidak heran jika Idris Sardi juga menginstrumentalkan dengan biolanya lagu Padi berjudul Kasih Tak Sampai, yang membuat Piyu tersanjung dan terjalinlah hubungan pemusik dua generasi.
Ketika masuk studio rekaman merampungkan album self-titled, Piyu menginginkan salah sebuah lagu musiknya bernuansa tahun 1960-an. Dia langsung teringat sang maestro biola yang pernah dijumpainya dalam sebuah acara. Jadilah sebuah lagu baru rasa lama, Masih Tetap Tersenyum.
THEODORE KS Penulis Masalah Industri Musik
Kompas Jumat, 27 Mei 2005
Minggu, 04 Januari 2009
Jumat, 02 Januari 2009
Kamis, 01 Januari 2009
Said Hoessin bin Machmoed AlHabsyi (1905)
Ini foto Said Hoessin bin Machmoed Alhabsy (1905).
Foto ini dicuplik dari majalah Bintang Hindia edisi tahun 1905 dan dikirim via email oleh Donald P Tick (Belanda), Kepala Pusat Dokumentasi Kerajaan-Kerajaan di Indonesia (PUSAKA).
Siapa sebenarnya tokoh ini? Menurut Dick, "He was during the last rebellion of the Royal Family of Banjarmasin the contact person (official) of the dynasty for the Pemerintah Hindia Belanda."
Sultan Adam
Cucu Pangeran Antasari (Gusti Moh Arsyad)
Langganan:
Postingan (Atom)