Jumat, 04 September 2009

La Dekar

La Dekar:
Mencari Pisang Sampai ke Gambut


WAJAH sandro yang satu ini kelihatan puas sehabis menjalankan tugas memimpin upacara Mappanre Tasi, upacara sakral sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maka Kuasa di kalangan masyarakat nelayan Pagatan.

Tak banyak orang yang mengetahui liku-liku perjalanan tugasnya itu. Dari kisah mencari bahan-bahan upacara hingga persiapan 'lain' menjelang saat-saat upacara dimulai.

Karena tugasnya itu pula La Dekar sehari-semalam tidak tidur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk ritual rahasia yang dilakukannya pada pukul 02.00 Wita, sebelum acara puncak Minggu siang kemarin. Di dini hari itu La Dekar pergi ke pantai sendirian.

Melalui kontak spritual, La Dekar berdialog dengan para penguasa laut, sekaligus memberi tahu akan diselenggarakannya upacara persembahan.

"Saya ketemu dengan mereka, langsung," ujarnya kepada BPost, kemarin. Semua penguasa laut itu, kata La Dekar, menerima rencana upacara yang direncanakan.

La Dekar mulai menghayati ritual Mappanre Tasi sejak tahun 1960 ketika dia berusia 15 tahun, karena diajak kakeknya yang juga seorang sandro kala itu.

Dia menjelaskan, di antara bahan-bahan sesajen untuk upacara Mappanre Tasi yang paling penting justru pisang. Pisang yang dalam bahasa Bugis dinamakan oti barangan harus dicari sampai ke Gambut, Kabupaten Banjar. Itupun setelah dia bolak-balik mencarinya di sekitar Batu Licin, Kabupaten Kotabaru.

Pada pelaksanaan Mappanre Tasi tahun sebelumnya, pisang yang dalam satu pohon cuma ada tiga sisir itu bisa didapat di Pondok Butung, Kecamatan Batu Licin. "Tahun ini, karena kemarau, pisangnya mati semua."

Berdasarkan informasi seorang kenalan, pisang itu ditemukannya di Gambut. La Dekar pun memberikan pengganti sebesar Rp2. 000 untuk tiga sisir oti barangan tersebut. Harga sebenarnya, katanya, lebih rendah dari nilai uang yang diberikannya. Yang mahal justru ongkos transportasi dia ke sana-ke mari tadi.

Meskipun murah, kedudukan pisang tersebut lebih tinggi dari pisang raja yang juga digunakan dalam upacara. "Pangkatnya lebih tinggi dari pisang raja," jelas pria yang dilahirkan di Pagatan tepat tanggal 17 Agustus 1945 ini.

Sementara ayam jantan kaliabu dan ayam betina menugading masing-masing berharga Rp40.000 per ekor. Ayam dengan ciri-ciri khusus itupun menurutnya bukan kualitas terbaik. "Ayamnya kada [tidak] nomor satu," jelas La Dekar yang dengan kemarin telah empat kali menjadi sandro, sambil menerangkan ayam dengan kualitas tertentu seperti yang dipersyaratkan oleh upacara pun semakin sukar dicari.

Mengenai acara ritualnya sendiri, agar mencapai keselamatan didahului dengan membaca Surah Al Fatihah kepada Nabi. Sedangkan bacaan-bacaan selanjutnya dilakukan dalam bahasa Bugis.

Menurut dia, situasi krisis moneter tidak berarti mengurangi bahan-bahan upacara. Malahan kata dia, jika bahan yang dicari tidak sesuai dengan syarat dia lebih baik menolak memimpin upacara. Sebab yang menerima akibat adalah dirinya karena dialah yang saat itu menghadapi para penguasa laut tersebut.

"Bahan tetap, cuma harganya sekarang jadi larang [mahal]," ujar La Dekar yang dalam pembicaraan sehari-hari mengunakan Bahasa Bugis dan sedikit Bahasa Banjar. yudi yusmili (Banjarmasin Post, 1998)