Minggu, 21 Desember 2008

Tunggul Kuning







Warna kuning sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Banjar. Warna kuning perlambang sesuatu yang dikeramatkan. Ini bisa dibuktikan dengan cara urang Banjar memperlakukan sesuatu yang dianggap sakral. Makam ulama dan orang yang dinilai memiliki keramat selalu terpasang kain kuning. Tak hanya satu tapi berlapis-lapis. Masyarakat biasanya berhajat sesuatu dan setelah terkabul lalu memasang kain kuning.

Pemandangan ini dapat ditemui di darat, di sungai, atau di tengah bekas makam yang telah berubah menjadi kios pasar. Situs Tunggul Kuning, demikian pula. Tunggul Kuning di Yapahut, kawasan Banjar Raya, Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjar Barat, Banjarmasin diperlakukan seperti itu karena dianggap keramat. "Banyak yang hajatnya terkabul, lalu memasang kain kuning," kata seorang warga di dekat lokasi sana.

Lokasi Tunggul Kuning semula tidak di tempatnya sekarang. Tapi beberapa meter agak ke dalam, di lokasi eks pabrik kayu lapis PT Daya Sakti yang sekarang berubah menjadi stockpile sebuah perusahaan batubara.

"Beberapa tahun lalu ada orang pintar asal Kalteng yang tahu syaratnya lalu memindahnya (ke lokasi Tunggul Kuning sekarang berdiri, red)," kata seorang ibu asal Sumedang, Jawa Barat yang tinggal di Yapahut sejak 1971.

Usia Tunggul Kuning sendiri, menurut cerita orang-orang tua di sana berusia lebih ratusan tahun. "Ketika daerah sini dulu masih lautan," ujar seorang ibu lainnya yang berasal dari Serang, Banten.

Situs Tunggul Kuning Yapahut memang diliputi misteri. Dari cerita masyarakat, keberadaannya dikaitkan dengan seorang Syekh yang tidak diketahui namanya. "Tunggul itu patahan sebuah kapal," kata warga lainnya.

Anda pernah tahu cerita ini?

Kamis, 18 Desember 2008

Makam Raja-raja Banjar di Martapura






Pernahkah pian berkunjung ke sini? Di Kelurahan Keraton, Kecamatan Martapura ini bermakam sejumlah raja Banjar. Foto diambil sepulang dari mengikuti haul Sultan Adam ke-154 (12 Rabiul Awwal 1428 Hijriah) di Mahligai Sultan Adam, Martapura. Sultan Adam memerintah kerajaan Banjar pada periode tahun 1825-1857. Sepeninggal Sultan Adam terjadi perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Tamjidillah dan Pangeran Hidayatullah. Keduanya adalah putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam dari ibu yang berbeda. Jadi kedua Pangeran ini sebenarnya cucu Sultan Adam. Dengan dukungan Belanda, Pangeran Tamjidillah akhirnya berkuasa merampas hak Pangeran Hidayatullah yang merupakan pilihan Sultan Adam (berdasarkan surat wasiat). Buntut dari kemelut dalam istana ini, berujung dengan meletusnya Perang Banjar pada 28 April 1859. Kedua Pangeran ini akhirnya terusir dari tanah kelahirannya di Negeri Banjar. Pangeran Tamjidillah dibuang ke Kampung Baru, Jakarta. Sedang Pangeran Hidayatullah diasingkan ke Cianjur. Jejak keturunan Pangeran Tamjidillah dapat ditelusuri di sekitar Kampung Banjar di Bogor. Di tempat ini pula dulu, Gusti (Ratu) Zaleha bin Sultan Mat Seman dan Gusti Muhammad Arsyad bin Gusti Mat Said dibuang Belanda. Dua nama terakhir adalah cucu Pangeran Antasari, seorang Pahlawan Nasional dari kerajaan Banjar yang terkenal dengan perjuangannya yang tak kenal menyerah kepada Walanda (Belanda): "Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing".

Rabu, 10 Desember 2008

Banjarmasin 1865 dan 1890

Pada tahun 1865 diadakan cacah jiwa pertama untuk Kota Banjarmasin dan hasilnya menunjukkan bahwa penduduk Kota Banjarmasin saat itu adalah:
Orang Banjar = 30.477 jiwa,
Orang Asing = 1.677 jiwa
Jumlah penduduk = 32.154 jiwa

Pada tahun 1890 distrik Banjarmasin dengan Kota Banjarmasin sebagai ibukota terdapat 32 buah kampung, yaitu:
1. Lupak
2. Tabunganen
3. Aluh-aluh
4. Tamban
5. Mantuil
6. Banyiur-Basirih
7. Kalayan
8. Pemurus
9. Kuliling Benteng Hilir
10. Sungai Tabuk
11. Sungai Lulut Pangambangan
12. Banua Anyar
13. Kampung Melayu
14. Sungai Mesa
15. Sungai Baru Pakapuran
16. Kampung Penata (Penatu?) Pasar
17. Kertak Baru-Telawang
18. Belakang Loji-Teluk Dalam
19. Antasan Besar
20. Pasar Lama/Kamp. Parit
21. Sungai Jingah
22. AntasanKecil Timur
23. Sungai Miai
24. Kuin Utara
25 Kuin ... (Cerucuk/Selatan?)
26. Alalak
27. Barangas
28. Jalapat
29. Serapat Anjir
30. Balandean
31. Sungai Saluang
32. Kampung Arab

Selasa, 02 Desember 2008

Cerita Lama (2): Mengukuhkan Pasak Bumi

PENGANTAR: Masih dari Tempo jadul edisi 13 April 1974. Kalau artikel 'Sepi di Pedalaman' ada di rubrik hiburan, maka kali ini di rubrik kesehatan ada tulisan menarik lainnya tentang Pasar Bumi dan Tabat Barito. Kolonel Rahmatullah yang disebut dalam tulisan ini adalah mantan Ketua DPRD Kalsel era tahun 1980-an. Beliau adalah kakek dari teman saya yang bernama Muksin. Beliau dulu tinggal --kalau saya nggak salah-- di rumah Jalan A Yani Km 3, di bangunan yang sekarang jadi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalsel.***


Pabrik obat PT Deltomed Laboratories memproduksi strong-pacaps, virgi tab caps. Bahan obat ini sejenis akar pasak bumi, serbuk daun tabat barito yang terdapat di hutan Kalimantan. (ksh)

KUAT jalan kaki, kakek-kakek ini tampak masih segar-bugar. Mendaki bukit-bukit atau menyeberangi riam Kalimantan merupakan kerja rutin saja baginya. Walaupun ketuaannya tak bisa ditipu oleh keriput pada wajahnya, namun otot-ototnya masih mampu mengayun beliung, menebang atau membelah kayu. Lebih dari itu, konon "semangat" mudanya telah memungkinkan rumah-tangganya tetap serasi dan bahagia. Cuma geleng kepala dan tersenyum, biasanya ia tak mengaku jampi-jampi apa yang telah diminumnya. Maklum orang timur -- dari udik lagi. Kalaupun didesak terus ia hanya bilang: "Cuma akar-akaran atau serbuk dedaunan hutan". Dan itulah lelaki "perkasa" yang masih suka menyantuni obat kuat para leluhur.

Nah, berabad-abad yang lampau pribumi Kalimantan Tengah telah mengenal sejenis akar-akaran yang mereka sebut pasak bumi. Akar yang ulet dan keras ini puluhan meter menembus bumi dengan belitan-belitan yang rapat ketat. Biasanya tanpa terlebih dulu dimasak -- cuma dicuci lalu direndam berhari-hari -- maka lelaki yang minum air rendaman itu bakal terkejut melihat hasilnya. Dan rupanya hutan Kalimantan tidak hanya menganugerahkan kebahagiaan kepada pria melulu. Untuk wanita, tersedia pula talar Barito, serbuk dari sejenis dedaunan yang bisa dipetik di pinggiran kali Barito.

Strong-pa.

Itu akar dan serbuk, ternyata juga mampu merangsang nafsu berdagang. Setidaknya bagi kolonel Rahmatullah. Orang Madura yang sehari-hari asisten I Kodam X Lambung mangkurat. Tahu bahwa Muhammad Thoyib mengantongi ijazah asisten apoteker -- sekalipun kemudian gagal meneruskan kuliah di fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada -- ia nasihatkan kepada kemenakannya ini menyelidiki akar-akaran dan dedaunan itu. Maka anak Pamekasan ini pun mulailah menyibak-nyibak hutan lalu memeriksa hasil buruannya di Iaboratoriumnya yang sederhana. Sebuah industri rakyat telah berdiri. Mendapat angin baik dari Inspeksi Kesehatan propinsi Kalsel, ia meningkatkan usahanya menjadi CV Lorina. Tak berapa lama usaha ini macet. Tapi berkat ganjelan modal orang lain plus izin Dirjen Farmasi Departemen Kesehatan, ia malah mendirikan PT Deltomed Laboratories, pabrik farmasi pertama di Banjarmasin.

Menurut Thoyib, nama Latin dari pasak bumi adalah Euricomangolifolia. Jack dari jenis tetumbuhan Simarufaceae, Sedang tabat Barito berasal dari keluarga Familia Moracea, dengan nama Ficus Deltoidea. Nah, dari kata terakhir. inilah PT Deltomed berdiri. Thoyib belum selesai. Ia memprodusir kedua jenis obat" itu dalam bentuk kapsul lalu memeriksanya ke Lembaga Farmasi Nasional di Jakarta tahun 1971. Hasilnya, itu lembaga menyatakan bahwa kedua jenis obat itu berkhasiat dan tidak berbahaya. Pasak bumi dan tabat Barito yang kemudian mendapat nama baru Strong-pa Caps dan Virg Tab Caps itu pernah pula dikampanyekan di Jakarta Fair 1971. Nah, tentu saja Deltomedlah kini satu-satunya pemegang monopoli kedua jenis jampi itu. Konon di Jakarta juga ada orang jual obat kuat semacam itu dalam bentuk serbuk kering. "Kalau benar, itu jelas usaha liar", ujar Thoyib.

Sejak Pebruari 1974 kemarin Deltomed telah menghasilkan 30.000 kapsul per bulan. Rencananya, produksi masa depan akan ditingkat-kan menjadi 2 juta sebulannya. Tapi itu baru rencana. Berapa modal yang telah ditanam? "Sekitar Rp 10 juta, atas swadaya sendiri", kata Thoyib. Tampaknya ia masih segan menjelaskan dari mana modal terkumpul. Namun dari nama-nama yang tercantum dalam susunan direksi itu PT bisa diduga bahwa Thoyib telah beruntung ditopang modal WNI non-pribumi. Misalnya Gunawan Wanujaya sebagai Dirut, Harman Mulyadi dan Johan Mulyadi bersaudara masing-masing sebagai direksi dan kuasa direksi. Thoyib sendiri menduduki kursi manager produksi merangkap urusan penjualan. Lariskah dagangan mereka? "Ketimbang pasak bumi, tabat Barito memang kurang laris. Maklum ibu-ibu masih malu-malu", kata Thoyib .

Cerita Lama (1): Sepi di Pedalaman

PENGANTAR: Waaw... saat searching tentang 'Taman Budaya Banjar' akhirnya bertemu tulisan harta karun ini. Tulisan ini dari Tempo edisi 13 April 1974 dan dilaporkan oleh Rahmat Marlim. Ada juga disebut tentang Banjar Raya. Silakan menyimak.***


Taman Sholihin akan dibangun di Banjarmasin. Tempat hiburan mendiangin permai, riam kanan, sekutang indah tak luput dari perhatian pemda. Khabarnya pemda menginginkan kotanya seperti Bangkok. (hb)

KEDUDUKAN hiburan dipropagandakan lagi dari mulut Gubernur Ali Sadikin, pada penutupan Festival Teater Remaja Desember kemarin. Dengan gagah dan semangat, tokoh ini mengukuhkan hiburan sebagai kebutuhan hidup yang penting. Tidak istimewa -- kecuali bahwa peranannya nan penting itu sudah tentu hampir selalu tertimbun di bawah kebutuhan yang lebih akut: usaha mengganjal perut dengan isi yang cukup layak. Maka tetap sepilah pedalaman neeri ini. Hiburan tak kurang dari barang mewah. Usaha-usaha buat berhibur-hibur pun menjadi tersipu-sipu, maklum dekat sekali dengan pengertian pemborosan. Padahal sikap rohani yang tidak tegang konon pangkal sehatnya kehidupan bersama.

Di Banjarmasin, ada orang merindukan sebuah Taman Sholihin untuk mengekor Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Harapan yang dilempar-kan lewat ruang budaya Banjarmasin Post itu barangkali hanya impian seniman-seniman yang kesepian. Memang sudah sejak lama juga berlaku kebiasaan menghargai wadah sebagai syarat pokok yang mencatumkan kesibukan, dan siapa tahu juga kebutuhan. Padahal di Jakarta kebutuhan sudah lebih dahulu menuntut sebuah tempat -- sampai akhirnya dengan menamakannya sebagai sebuah proyek rugi, berdiri juga itu Taman yang di atas segala kekurangannya cukup dapat dibanggakan kepada semua orang. Di Banjarmasin, seperti dilaporkan pembantu TEMPO Rahmat Marlim, sebenarnya telah ada yang bernama Banjar Raya. Hanya saja lantaran kurang asuhan, tempat binatang-binatang ini membelukar kembali dan menjadi rawa. Burung-burungnya terbang, tak tahu ke mana Rasa axis yang cantik, hadiah Presiden Suharto, tersia-sia. Sehingga sulit juga mencari di mana letak Taman Tirta Nirwana-nya.

Kapal klotok.

Di kilometer satu, kini tanah sudah dibeli seharga Rp 12,5 juta lantaran Pemerintah Daerah tertarik juga rupanya untuk membangun semacam gelanggang remaja, meskipun sampai kini rakyat belum melihat bukti yang lebih konkrit di atas tanah tersebut. Maklumlah. Di sana kalau ada yang haus bersenang-senang, masih ada tempat yang disebut Mandiangin Permai, Riam Kanan atau jauh di luar kota Barabai ada pegunungan Pagat. Adapun Sekutang Indah, proyek parawisata milik kapten purnawirawan Impat, terpaksa menggulung dirinya sejak yang empunya tersekap di penjara Barabai. Pun juga pantai Kisung tempat bersantai para remaja di kabupaten Tanah Laut 76 Km dari kota -- di mana ada mainan ombak dan perahu layar. Jalanan ke sini masih repot diutak-atik, masih bersisa enam kilometer yang belum licin. Harapan kemudian tinggal pada Riam Kanan yang cukup genit oleh tempat tamasya Jambunaunya. Pada hari-hari liburan ke sana muda-mudi nomplok. Walaupun mobil-mobil angkutan terbilang kurang. Untunglah ada kapal-kapal klotok yang memanfaatkan kekurangan itu sehingga menjadi semacam mata pencaharian juga. Pemerintah Daerah melek juga terhadap arus ini -- dan kabarnya, menurut kuping Rahmat Marlim merekapun sudah berniat mencampuri daya tarik Riam Kanan. Tetapi sebagaimana kebiasaan pedalaman, niat itu baru sampai pada keinginan.

Bapak Keng Lie.

Sesungguhnya Banjarmasinpun mendambakan diri menjadi kota pariwisata. Dengar: diam-diam ia telah mengidentifikasikan diri dengan Bangkok. Entah apa yang mau dijual dari kota yang sedang mencoba terbangun ini. Bila musim kemarau mencat biru langit, memang di atas kota banyak ekor layang-layang yang menjadi mainan semua orang. Di Kali Martapura yang menari dengan langgengnya, juga ada kegiatan-kegiatan kecil. Atau kesempatan lomba perahu pada hari ulang tahun Kota Madya. Selebihnya sepi-sepi saja. Walaupun ada beberapa kolam renang seperti Mandiangin atau Loktabat yang sedang dibenahi, tempat anak-anak mencemplungkan diri. Banjarmasin memang kurang hiburan, sehingga bioskop jadi tak pernah sepi. Tetapi inipun bioskop kelas murah yang beratap langit, yang -- duile -- namanya tak kalah mentereng dari bioskop kelas satu: Kamaratih. "Ada penonton yang datang berbekal sabun", kata Rahmat Marlim. Mengapa? "Bila hujan mengguyur lebat, bagaikan mandi sekali. Praktis". Tentunya ini main-main.

Tanpa melalui penobatan yang sah, raja bioskop di kota ini namanya bapak Ong Keng Lie. Dia ini membawahi bioskop-bioskop yang tergolong baik-baik: Dewi, Mawar dan Ria. Barangkali sejalan dengan kegemaran penduduk kota terhalap musik Melayu, film-film yang larispun film-film pribumi -- walaupu masih kalah dengan film India atau Mandarin. Bioskop sebagai tempat hiburan, rupanya -- setelah disimpulkan dengan cukup gegabah -- paling berkembang. Dibutuhkan dan dipelihara, karena memang mendatangkan uang. Sulit meramalkan apakah ada tilik-titik terang pada sarana hiburan yang lain. Tentu saja sukar memastikan apakah sebuah hiburan harus menjadi beban dahulu sebelum orang berebutan mencaharinya, atau malahan sebaliknya: digratiskan saja. Kalau digratiskan tentunya ia tidak akan pernah dicampuri tangan-tangan swasta. Dan kalau diserahkan kepada Pemerintah Daerah, siapa tahu akan tetap tinggal keinginan. Maklum keinginan baik memang selamanya ada, tetapi apakah itu harus diperhatikan sedang orang sedang dihadapkan pada kebutuhan yang jauh lebih mendesak?

(Sumber: Majalah Tempo, 06/IV 13 April 1974)